I Love KP
Entah sejak kapan aku menamainya KP. Dua huruf yang mampu mewakili semua amanahku di perguruan tinggi, baik amanah organisasi maupun akademis.
KP 1: Kebijakan Publik
Ini singkatan KP yang sebenarnya. Dan bagaimana aku bisa ada di sini, ada sejarahnya yang cukup panjang.
Aku tak tahu sejak kapan aku tertarik dengan dunia politik praktis. Yah, nggak semua perpolitikan di negeri ini kuikuti sih. Yang jelas, sejak kelas 6 SD aku suka membaca majalah Sabili, Saksi... dan karena waktu itu menjelang Pemilu 2004, berita-beritanya isinya soal parpol semua. Ada satu majalah lagi yang aku lupa judulnya, sepertinya edisi khusus, karena satu majalah itu isinya full tentang partai dan pembahasan perbandingan pemilu saat itu dengan Pemilu 1999.
Meski aku tertarik dengan semua urusan pemilu tersebut, aku cukup kesulitan memahami pelajaran PKn di SMP. Seharusnya dengan ketertarikanku terhadap pemilu, dilengkapi dengan pengajar yang seorang istri anggota DPRD Kabupaten Semarang, materi tentang Otonomi Daerah menjadi lebih mudah dan menarik, tetapi ternyata nilaiku dalam pelajaran ini tak pernah cukup bagus, bahkan sampai SMA. Mungkinkah karena terlalu teoritis? Yang jelas, aku menemukan suatu fakta bahwa seseorang yang suka politik belum tentu mengerti pelajaran PKn, padahal keduanya berkaitan erat.
Di sisi lain, saat SMA, tiga kali aku mewakili sekolah dalam lomba debat. Pada dua lomba terakhir, aku melakukan kesalahan yang sama: meninggalkan catatanku di rumah karena terburu-buru berangkat.
Tanpa case itu, rasanya pikiranku buntu. Oke, buka kartu nih. Selama ini dalam karir debatku, bahkan pas udah kuliah, case yang kubawa adalah hasil pemikiran Bapak yang pelatih debat di sekolahnya. As the first speaker, kadang aku agak buntu kalau harus mendefinisikan kasus, membatasi kasus... kalo jadi affirmative, gondok juga karena nggak ada yang bisa dibantah dulu jadi waktu ngomongnya lebih sedikit, tapi kalo jadi negative, kadang gak bisa menangkap argumen lawan (bisa jadi karena aku yang nggak mudeng bahasa Inggris atau karena ngomongnya sama-sama belepotan) jadinya pas bantah malah nggak tepat sasaran... walhasil, setiap lolos ke babak final dengan on-the-spot motion, timku cukup puas dengan memberi kesempatan lawan untuk memenangkan pertandingan. Hehe...
Tapi dari semua case build itu, baik dengan atau tanpa Bapak, aku jadi tahu tentang berita-berita yang up to date maupun udah cukup lama tapi masih hangat dibicarakan. Awalnya aku sama sekali nggak tertarik untuk membicarakan rencana pembangunan PLTN, gak tau apa-apa soal persengketaan Korut dan Korsel, tapi gara-gara harus bersiap untuk tema itu, jadinya malah mencari-cari plus-minusnya. Masalah pemilu dan golput yang pernah jadi on-the-spot motion di salah satu final debat, biarpun aku suka, tapi dari seringnya ikut lomba debat, aku jadi bisa mengungkapkannya dengan logis dan sistematis, tidak asal beropini seperti yang sering kulakukan.
Sifat lain yang terkenal dari diriku adalah suka ngeyel. That's why, salah seorang pembina wismaku menyarankan aku masuk ke lini sospol. Belum lagi kebiasaanku di wisma, kalo makan harus ada dua "lauk" utama: krupuk dan koran terbaru. Hampir seluruh Tsabiters tahu kolom yang sering kubaca adalah politik. Ditambah "kompor" yang suka meledak-ledak, Mb Retno, yang membuatku tergoda mencoba dunia perpolitikan di kampus.
Selama beberapa bulan di KP, masih ada satu hal yang mengganjal buatku. Beberapa kawan mungkin melihatku sebagai orang yang "sangar" masalah politik seperti ini, tapi aku sendiri merasa masih belum matang di bidang ini. Kalau diskusi, aku cenderung mengutip pandangan orang lain daripada menyampaikan argumenku sendiri, soalnya aku merasa argumenku masih kekanak-kanakan, sebatas emosi saja, dan (kalau dibandingkan argumen orang lain) rasanya masih kurang logis, masih mudah terpatahkan...
Kekritisanku seperti masih belum terstruktur. Aku mungkin bisa berkomentar, tapi komentar itu masih komentar orang awam, belum mencerminkan komentar cerdas seorang Sekdep KP. Jangankan memberikan solusi atas permasalahan yang ada, untuk memberi statement saja kadang masih ragu.
Kalau melihat para ikhwah dengan pemikirannya yang mengutip berbagai tokoh dunia, seperti Sayyid Quthb atau Hassan Al Bana, atau buku-buku pemikiran yang belum seluruhnya kubaca... rasanya seperti pemikiranku masih nol besar. Apalagi kalau berhadapan dengan pemikiran lain, kadang aku masih kalah argumen dengan mereka. Yeah, karena argumenku masih sebatas keyakinan (semoga bukan taklid). Padahal, pemahaman itu seharusnya yang menjadi bekal buatku kalau aku masih niat berjuang melalui KP yang satu ini.
Mungkin itu sebabnya, meski aku memilih KP, tapi aku takut untuk masuk Kastrat. Menjadi anak KP saja rasanya sudah memikul suatu beban tersendiri untuk bisa mewarnai perpolitikan kampus dengan kekritisannya, apalagi di Kastrat...
Biar bagaimanapun, menjadi seorang pembantah tampaknya sudah mendarah daging dalam hidupku. Aku selalu berharap, bantahanku tak lagi sekadar bantahan anak kecil, tapi bantahan seorang mahasiswa cerdas yang akan mampu mengubah dunia. Dan dunia yang menjadikanku lebih up to date dan kritis adalah dunia debat dan KP.
Aku belum bisa sekritis teman-teman KP lain, tapi aku di sini belajar, Kawan. Toh aku juga ingin bisa memberikan kontribusi di KP bukan sekadar di bidang administrasi kesekretariatan, tapi juga ide dan argumennya. (Salah satu hal kenapa aku lebih suka jadi Sekdep daripada Sekretaris secara umum: untuk menjadi sekretaris, kau tak perlu menguasai satu bidang secara mendetail, cukup kuasai saja aturan kesekretariatan. Tapi untuk menjadi Sekdep, selain urusan kesekretariatan, kau juga harus memiliki jiwa sesuai departemen itu. Hehe...)
KP 2: Kaderisasi & Pershum
Kaderisasi
Awal-awal menjadi mahasiswa, seseorang pernah menanyaiku ingin masuk organisasi apa saja. Waktu itu aku menjawab mungkin ingin fokus di pendirian rohis jurusan aja (as new department of this faculty, Siskom belum punya rohis), walaupun pada akhirnya, aku ikut berbagai organisasi. Tapi aku jugamasih bingung mau ambil apa, toh departemen yang ada aku juga belum tahu.
Meski begitu, takdir (ciee...) tak mengizinkanku memilih departemen. Takdir itu sendiri yang menempatkanku di departemen itu.
Setelah menyepakati "Al Muharrik" sebagai nama rohis Siskom, forum mulai membahas susunan kepengurusan. Waktu itu juga baru disepakati departemen apa saja yang ada. Dan departemen pertama yang diusulkan adalah Kaderisasi. Tentu disepakati, karena ini ujung tombak sebuah dakwah.
Nama kepala departemen Kaderisasi telah disepakati. Lalu dicarilah sekdep dari kalangan akhwat. Kenapa sekdep harus akhwat, ya? Aku penasaran waktu itu. Berhubung di balik hijab cuma ada aku dan Mb Arini, sedangkan Mb Arini mengusulkan sekdep diambil dari 2010, kalau digabungkan, syarat sekdep adalah akhwat 2010.
Ditanya tentang kesediaan, aku ragu. Baru di kampus aku mengenal istilah Sekdep, dan fungsi riilnya dibandingkan sekretaris Rohis. Lebih dari itu, di SMA dulu, aku takut masuk departemen ini karena beratnya amanah yang dipikulnya. Sebab dia menyadari, peran Kaderisasi adalah ujung tombak berlangsungnya sebuah dakwah. Setelah “menjerumuskan” orang ke Rohis, Kaderisasi juga bertanggung jawab untuk menjaganya. Kalau sampai ada kader yang lepas, Kaderisasi akan menjadi oknum pertama yang pertama ditanya.
Tapi didesak untuk segera memberikan jawaban, aku tak sempat memikirkan alasan yang syar'i untuk menolak. Dan jawaban itu meluncur dari bibirku, "Insya Allah." Hanya bisa berharap Allah akan memudahkannya.
Aku pernah menuliskan cerita tentang hari-hari pertamaku dalam hidup sebagai Sekdep, lebih-lebih di Departemen Kaderisasi.
"Ukh, bisa minta tolong buat formulir pendaftaran Rohis?" ujar kadepku via SMS.
"Saya yang buat? Bukan sekretaris Rohis?" jawabku polos. Bukannya menolak, tapi pengalaman di SMA yang tak mengenal Sekdep, biasanya sekretaris Rohis yang membuat ini.
"Antum lah, kan ini ranah kerjanya Kaderisasi."
"Oh... Isinya apa aja? Formatnya seperti apa? Deadline kapan?"
Banyak tanya, tegur diriku sendiri. Tapi memang aku masih belum tahu apa-apa soal urusan kesekretariatan. Dan tugasku tak berhenti sampai di sana.
Tak lama setelah itu, GOM FT akan dilaksanakan. Pada hari yang sama, aku juga maju lomba debat tingkat FT mewakili Siskom. Aku ke kampus lebih pagi untuk berlatih debat. Waktu latihan, jarkom masuk bahwa seluruh maba muslim wajib berkumpul saat itu juga. Karena jarkom telat, aku men¬olak datang dan memilih melanjutkan berlatih. Ternyata, kami diundang untuk diberi penjelasan tentang GOM. Dan aku kaget karena temen-temen diminta menyerahkan uang GOM kepadaku. Dalam hati aku merutuki kadepku, tanpa bilang-bilang dulu! Sembarangan banget! Aku paling ngeri kalau suruh megang duit orang. Meski demikian, lagi-lagi aku tak punya alasan syar'i untuk menolak.
Begitulah. Selagi teman-teman akhwatku yang lain masih sibuk menikmati peran sebagai maba, sebagai peserta di setiap agenda, aku sudah mulai sibuk dengan syuro yang hanya kulihat dilakukan oleh kakak-kakak tingkatku. Dua event sudah yang aku berada dalam posisi yang "berlawanan": peserta sekaligus panitia. Peserta karena aku adalah maba, panitia karena aku adalah staf departemen itu.
Di sini, aku juga pertama kali mengenal yang namanya TOR. Di sini, awal perkenalanku dengan dunia administrasi kampus, yang pelajaran lebih lanjut tentang ini baru kudapat sebagai sekdep KP, dan selanjutnya aku mengombinasi ilmu dari kedua ranah itu. SOP Al Muharrik pun aku ambil dari SOP BEM.
Meski awalnya aku ngeri di sini, tapi aku shock ketika, setelah raker, syuro ikhwan malam-malam (biar akhwat gak ikut, nih? Hehe...) memutuskan aku dipindah jadi Sekdep Annisa. Entahlah, aku hanya merasa nyaman di Departemen ini, yang kalau boleh dibilang, adalah satu-satunya departemen yang jalan di Al Muharrik. Dan lagi... seribu alasan kuungkapkan mengapa aku enggan di Annisa, bahkan menyarankan untuk menghapus Departemen Annisa karena SDM akhwat juga kurang. Walhasil, aku balik lagi di Kaderisasi... dengan merasa sebagai akhwat pemberontak. Istilah kerennya, Al Mujadilah kali, ya... "wanita yang mengajukan gugatan". Hehe...
Pershum
Lagi-lagi aku ingin bercerita tentang masa lalu. Sebuah sejarah yang cukup panjang. Kuharap saja kalian tidak bosan membaca "curcol" ini. Hehe...
Aku masih kelas 3 SD waktu membaca buku jadul berjudul "Wartawan Cilik", yang bercerita tentang sebuah tim mading sekolah yang madingnya hampir gak pernah dibaca, lalu dikreasikan, berikutnya diterbitkan jadi koran, terakhir jadi majalah.
Suatu siang, aku iseng-iseng bikin profil tentang temen-temenku, ceritanya rubrik sahabat pena. Ibuku lihat, trus dibilang, "Bikin aja sekalian koran sekolah, seperti buku yang kamu baca itu. Trus kamu jual ke temen-temen kamu."
Dan jadilah aku bikin koran satu lembar. Isinya satu kolom tentang berita di sekolah, satu kolom humor, komik, dan kuis. Selembar HVS yang aku print itu (gambar masih pake tangan) difotokopi menjadi 10 lembar. Tak diduga, ternyata laris. Maka selama beberapa minggu ke depan aku sibuk dengan dunia baru ini. Beritanya kadang hanya sekadar pertandingan bola internal kelasku saat pelajaran olahraga, tapi teman-teman sangat berminat, bahkan ada yang mengirimkan komiknya dan mendapatkan tiga biji permen sebagai honor. Lumayan juga, uang hasil penjualan itu bisa aku pakai buat jajan kalau pulang sekolah.
Lama-lama aku cetak sampai 20 eksemplar, kadang satu halaman, kadang dua. Buletin yang kuberi nama INSANI itu (nama yang dijiplak persis dari buku tadi) sempat kutawarkan pada anak-anak kelas 4. Menjelang ujian, aku mewawancarai beberapa guru untuk mengisi kolom motivasi.
Sampai awal kelas 4, aku masih menjalankan bisnis buletinku itu. Lama-lama agak males juga, jadi jarang terbit. Pergantian nama buletin INSANI menjadi buletin ISTIQOMAH sesuai nama sekolahku ternyata menjadi edisi terakhir yang kucetak. Setelah itu berhenti total. Padahal wali kelasku sempat memberikan apresiasi yang luar biasa untuk buletinku.
Kelas 2 SMP, dari seringnya diskusi dengan guru Bahasa Indonesia saat itu, kami sepakat membentuk tim mading sekolah. SMPIT yang baru pindahan ke gedung milik sendiri itu memang belum punya mading. Mading baru itu kami beri nama "Laskar Habrul Ummah", kudapatkan dari sebuah buku, artinya tinta ummat.
Waktu ada info kalau di Unnes ada acara yang menghadirkan Ustadz Yusuf Mansyur dan Justice Voice, aku menyarankan untuk mewawancarai salah satunya. Meski Dipta yang jadi PJ liputan, tapi aku yang akhirnya mewawancarai para personil JV itu.
Berhubung masih sekolah baru, sistem di SMP-ku masih mencari bentuknya. Ekskul baru ada waktu aku kelas 3, dan kelas 3 masih diizinkan mengambil ekskul selama 1 semester. Aku sempat memilih English Club, tapi beralih ke Jurnalistik. Tahu kenapa? Waktu itu aku mikir, kayaknya seru deh ntar kalau bisa interview tokoh-tokoh penting dan terkenal. Haha, alasannya lucu banget, yah?
Hampir aja tercapai sih. Waktu di Unnes menghadirkan Opick, aku sebagai Redaktur Pelaksana mengajak timku ke sana. Sayang, si Opick dikawal ketat banget, pas timku udah di depan gedung, kami melihat pengawalan Opick begitu ketat dan langsung masuk mobil. Fiuh... Sebagai gantinya, di hari lain aku sempat bertemu dengan Jazimah Al Muhyi dalam seminar kepenulisan, dan ketika akan mewawancarainya, beliau memintaku menulis pertanyaan di kertas, lalu beliau akan menjawabnya via e-mail.
Di SMA, satu-satunya organisasi yang kuikuti adalah Rohis. Ditawari 8 pilihan departemen, aku bingung pilih mana: Dakwah, Kaderisasi, PHBI, Takmir Mushola, Seni dan Riyadhoh, Kewirausahaan, Perpustakaan... sampai akhirnya aku memilih Departemen Pers. Selain melanjutkan bidangku sejak SMP, kupikir akan bisa berdakwah melalui tulisan.
Berhubung tak ada anak kelas 2 ada di Departemen Pers, jadilah aku diamanahi sebagai koordinator (satu-satunya koordinator departemen yang berasal dari kelas 1), padahal aku belum tahu apa-apa soal yang namanya proker. Pernah sekali aku berusaha mengadakan rapat internal departemen, tapi tak satu pun yang datang! Ternyata departemen lain juga nggak ada yang mengadakan rapat internal. Jadinya lama banget gak ada media yang bisa jadi sarana.
Waktu seminar jurnalistik dari Iqro Club di SMA-ku, salah satu pembicara menugasi para peserta untuk bikin buletin Rohis masing-masing sekolah. Barulah dari situ lahir buletin Rohis. Niatnya setor dalam format Ms Publisher ke pembicara itu untuk diedit, ternyata dirombak sekalian pake Corel...Tuh buletin jadi menarik banget deh. Akhirnya bisa deh disebar...
Oya, buletin yang disebar itu dinamai BuRoQ, singkatan BUletin ROhis Q-ta. BuRoQ masih terbit sampai beberapa edisi, disebar gratis ke seluruh kelas, sampai aku naik kelas 2 dan sudah tidak di Pers lagi, sekali dua kali BuRoQ masih nyebar... puncaknya, saat aku kelas 3 dan izin dari kelas untuk ambil buletin edisi penyambutan siswa baru...
Ketertarikan pada jurnalistik itu membuatku sempat memikirkan kemungkinan melanjutkan kuliah di jurusan Komunikasi, spesifikasinya Jurnalistik. Dengan niat coba-coba ambil jurusan Ilmu Komunikasi di SIMAK UI (paralel, soalnya peluang yang reguler udah buat ambil yang berkaitan dengan komputer dan Matemarika), alhamdulillah diterima... Tapi karena dapetnya paralel dan di Undip udah diterima di Siskom, aku lebih memilih Siskom Undip.
Nah, di kampus ini, organisasi yang sudah kuincar sejak aku SMP adalah KAMMI. Karena wismaku, Tsabita, adalah markas KAMMI Teknik, dari awal aku sering melihat lembar struktur organisasi yang nempel di ruang depan. Melihat semua nama departemen yang aneh-aneh (yang jelas udah gak mau duluan di Ekonomi), lagi-lagi aku tergoda untuk menemui dunia lamaku, dunia Pers. Diajakin ke Kaderisasi ogah, dibilang berjiwa Kastrat aku tetep ngeyel milih Pershum...
Jujur, kadang aku mikir, kalo di Pershum ini akhwatnya gak cuma ada Inung (as Sekdep) dan Fitri, mungkin aku udah dilempar ke Kastrat kali, ya? Bukannya apa-apa, beberapa orang yang kutemui dan tahu aku di Pershum, seolah menyayangkan pilihanku tersebut, apalagi yang tahu persis posisiku di KP. Tapi bukankah sudah kukatakan, kenapa aku enggan ambil Kastrat?
Yah, walaupun aku juga gak nyangka kalo Pershum bakal "krik krik" alias adem ayem gini... Secara, aku hidup di KP, di BEM, yang merupakan lembaga ammah banget, rapat aja gak pake hijab, dan emang orangnya rusuh semua... belum lagi di Al Muharrik, yang walaupun Rohis dan syuronya berhijab, tapi tiap hari ketemu di kampus dengan segala ke"gace"annya... begitu di Pershum ketemu orang yang entah jaim entah apa, tapi pada pendiem semua... aku jadi gak bisa ngeyel, gak bisa sadis, gak bisa macem-macem lah...
Uniknya, kayaknya 3 akhwat Pershum kompakan banget saat syuro. Satu gak berangkat, semuanya ikutan gak berangkat. Apalagi kalau yang ijin sekdepnya, jangan harap dua staf akhwat hadir. Hehe... aku juga gak tahu kenapa ngerasa "sungkan" syuro akhwat sendiri di Pershum, padahal di Al Muharrik juga gak jarang sendirian di balik hijab tiap syuro, toh aku cuek bebek aja tuh.
Biar bagaimana pun, aku tetep enjoy kok jadi salah satu Srikandi Pershum (ambil istilah 3 Srikandi-nya akhwat dulu). Terutama kalo udah beraksi, entah sebagai paparazi (baca: fotografer) atau meliput sesuatu lalu menuliskannya. Rasanya bangga banget kalo tulisan itu dimuat dengan nama "pena": fafa_akhwat.
KP 3: Kuliah & Praktikum
Kalau amanah-amanah di atas sifatnya sementara, amanah ini meskipun sama-sama sementara, tapi lebih lama. Paling cepet 3,5 tahun (aamiin) baru kelar. Kata orang, amanah ini "sekadar" amanah orangtua. Tapi bagiku, ini lebih dari sekadar amanah ortu, ini juga amanah dakwah. Bagaimana dengan kuliah ini kita bisa berkontribusi untuk dakwah.
Meski ada motivasi besar dengan kuliah di Siskom ini, jujur amanah ini justru yang paling berat buatku. Sering aku kesulitan memahami materi yang diajarkan. Menurut analisisku sendiri, aku lebih bisa memahami kalau diajarkan privat, dan ini yang susah: nyari pengajar privat. Nggak tau juga kenapa, kayaknya lebih seru aja melaksanakan amanah organisasi daripada amanah ini. Jadi mungkin lebih sering terabaikan...
Biar bagaimanapun, menyukai amanah ini sedang dalam proses... supaya aku bisa seimbang pada semua amanah itu...
No comments