Anak Jalanan Itu...
Note: awalnya mau bikin liputan buat KAMMI, tapi ini giliran yang lain untuk menulis. Jadi, biarlah ini jadi tulisan pribadi...
* * *
Sore menjelang maghrib. Hanya tinggal beberapa menit sebelum adzan berkumandang. Beberapa akhwat terlihat terburu-buru menurunkan "ransum" berupa blewah, es batu, galon berisi air, dan gelas. Dalam gerak cepat pula, mereka mulai menata takjil itu di--sebut saja--hall depan.
Di ruang belakang, puluhan anak kecil berteriak riang dipandu oleh kakak-kakak ikhwan. Surara kakak pemandu itu hampir tidak terdengar di tengah teriakan khas bocah itu. Untuk bisa lebih dekat kepada adik-adik, para ikhwan membagi mereka menjadi beberapa kelompok. Dalam kelompok itu, mereka bercanda, bermain, saling bercerita... bahkan ada yang meminta, "Kak, gendong." Ada pula yang menjauh dari kelompok itu dan membuat gundukan pasir yang mereka sebut gunung. Dengan bangga mereka memamerkan "gunung" itu kepadaku dan Inung yang mampir ke ruang belakang untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut.
Anak-anak lain sudah berlarian ke sana kemari, tapi seorang anak laki-laki itu tetap di tempatnya. Dia terus saja membuat gunung, memaksaku memberi penilaian atas kreasinya itu. Beberapa kali merajuk minta gendong, bahkan terang-terangan mengajakku berantem. Ya, adik satu ini memukul-mukulku, berusaha menjambak jilbabku, mencakar mukaku... tapi sambil tertawa-tawa. Bagiku, apa yang dia lakukan hanyalah sebuah aksi anak kecil yang ingin diperhatikan. Mungkin memang kesehariannya ia jarang diperhatikan.
Ketika saatnya berbuka, aku mengikuti adik-adik itu ke hall. Ribut sekali suasana di sana. Entah kakak yang lain tidak membariskan, atau adik-adik itu keluar dari barisan, tapi mereka bercampur jadi satu, berdesakan minta es blewah. Di antara mereka, kakak-kakak KAMMI berseliweran mengatur mereka, meladeni celotehan mereka. Banyak sekali adik yang meminta tambahan es blewah, termasuk seorang gadis kecil seusia TK bernama Riris. Padahal gelasnya masih berisi setengah. "Dihabiskan dulu ya, Dik, baru boleh ambil lagi," kataku, tercabik antara ingin menyenangkan adik kecil ini dan terbatasnya jumlah es blewah yang dibawa.
Sementara itu, Septi, kakak Riris, sudah melesat mengambil tambahan es blewah. Dia kembali dengan membawa beberapa permen yang diberikan pada Riris. Setelah itu, Septi meminta jatah permen lagi. "Untuk adikku," katanya. Padahal sang adik sudah menggenggam sekitar tiga permen di tangannya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Lagi-lagi sedang mencari perhatian.
"Kak, ayo shalat," ajak Septi.
"Shalatnya di mana?" tanyaku.
"Di masjid di sana," jawabnya.
Aku sendiri tak berani menuruti ajakannya, sebab aku sendiri belum tahu agenda yang sudah disiapkan. Aku menoleh pada seorang ikhwan di belakangku (gak jelas siapa, soalnya tanpa kacamata, nyaris gak bisa lihat, hehe) dan berteriak mengatasi suara riuh yang memenuhi senja, "Ini shalatnya di mana?"
Katanya di masjid. Baru saat itu aku menuruti ajakan Septi mengambil mukena di rumahnya. Dia menarikku dan mengajak Riris pulang. Di tengah jalan, Deby menyusul. Rumahnya lebih dekat daripada Septi, dan ketika akan membelok ke rumahnya, Deby berseru, "Kak, tunggu ya."Aku tidak mengiyakan, "Nanti ke rumah Septi aja. Oke?"
Anak kecil itu mengangguk dan berlari. Aku, Septi, dan Riris melanjutkan perjalanan. Aku lupa topik apa yang kita bincangkan waktu itu, tapi yang jelas, Septi berkata dengan nada mengingatkan seolah dia berjanji, "Insya Allah dong, Kak."
"Subhanallah," lirihku.
"Iya dong, Kak, kan udah kelas satu, jadi pinter," celotehnya bangga. Aku hanya mampu tersenyum.
Sebelum sampai di rumahnya, dia memberi tahu, "Kak, rumahku jelek lho, Kak."
"Nggak apa-apa," kataku mencoba memaklumi keadaannya. Namun tiba-tiba aku teringat satu hal yang seharusnya kuucapkan, dan langsung kusampaikan padanya, "Alhamdu..." kalimatku berhenti, memancingnya untuk melanjutkannya. Namun dia tak juga menyambung, jadi aku yang melanjutlan, "...lillah... Bersyukur, Dik, masih diberi rumah..."
Kami berbelok di satu... apa, ya, namanya? Dikatakan jalan, itu bukan jalan. Semacam gang, yang pinggirnya rumah-rumah kotak kecil. Seorang ikhwan menyusul kami (lagi-lagi gak lihat siapa) dan menginfokan, "Sholatnya nggak jadi di masjid, tapi di tempat tadi." Berkata begitu, dia berbalik lagi.
Aku, Septi, dan Riris menyusuri "jalan" dari rumah-rumah itu. Bentuk "perumahan" semacam ini baru kali ini kulihat sangat dekat. Biasanya aku hanya melihatnya dari jauh, atau dekat melalui sorotan kamera TV. Dengan mata rabun ini, semuanya memang tidak terlihat jelas, tapi sudah sangat menyentuh nurani. Kadang aku menyatakan diri sebagai orang yang tidak memiliki jiwa sosial, jarang terlibat dalam kegiatan sosial (kecuali mungkin sosial-politik alias sospol, hehe), tapi siapa sih yang tidak tergetar hatinya melihat fakta ini...?
***
Mereka memang anak jalanan. Tapi bukan sembarang anak jalanan. Mereka anak jalanan berprestasi. Ada yang berhasil meraih NEM tertinggi se-Kecamatan Gayamsari. Ada yang berhasil menjuarai lomba tartil se-Jawa Tengah.
Hal yang wajar jika anak-anak itu berteriak lantang, mencari perhatian kakak-kakak dari KAMMI Teknik yang datang untuk berbagi keceriaan bersama mereka.
* * *
Sore menjelang maghrib. Hanya tinggal beberapa menit sebelum adzan berkumandang. Beberapa akhwat terlihat terburu-buru menurunkan "ransum" berupa blewah, es batu, galon berisi air, dan gelas. Dalam gerak cepat pula, mereka mulai menata takjil itu di--sebut saja--hall depan.
Di ruang belakang, puluhan anak kecil berteriak riang dipandu oleh kakak-kakak ikhwan. Surara kakak pemandu itu hampir tidak terdengar di tengah teriakan khas bocah itu. Untuk bisa lebih dekat kepada adik-adik, para ikhwan membagi mereka menjadi beberapa kelompok. Dalam kelompok itu, mereka bercanda, bermain, saling bercerita... bahkan ada yang meminta, "Kak, gendong." Ada pula yang menjauh dari kelompok itu dan membuat gundukan pasir yang mereka sebut gunung. Dengan bangga mereka memamerkan "gunung" itu kepadaku dan Inung yang mampir ke ruang belakang untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut.
Anak-anak lain sudah berlarian ke sana kemari, tapi seorang anak laki-laki itu tetap di tempatnya. Dia terus saja membuat gunung, memaksaku memberi penilaian atas kreasinya itu. Beberapa kali merajuk minta gendong, bahkan terang-terangan mengajakku berantem. Ya, adik satu ini memukul-mukulku, berusaha menjambak jilbabku, mencakar mukaku... tapi sambil tertawa-tawa. Bagiku, apa yang dia lakukan hanyalah sebuah aksi anak kecil yang ingin diperhatikan. Mungkin memang kesehariannya ia jarang diperhatikan.
Ketika saatnya berbuka, aku mengikuti adik-adik itu ke hall. Ribut sekali suasana di sana. Entah kakak yang lain tidak membariskan, atau adik-adik itu keluar dari barisan, tapi mereka bercampur jadi satu, berdesakan minta es blewah. Di antara mereka, kakak-kakak KAMMI berseliweran mengatur mereka, meladeni celotehan mereka. Banyak sekali adik yang meminta tambahan es blewah, termasuk seorang gadis kecil seusia TK bernama Riris. Padahal gelasnya masih berisi setengah. "Dihabiskan dulu ya, Dik, baru boleh ambil lagi," kataku, tercabik antara ingin menyenangkan adik kecil ini dan terbatasnya jumlah es blewah yang dibawa.
Sementara itu, Septi, kakak Riris, sudah melesat mengambil tambahan es blewah. Dia kembali dengan membawa beberapa permen yang diberikan pada Riris. Setelah itu, Septi meminta jatah permen lagi. "Untuk adikku," katanya. Padahal sang adik sudah menggenggam sekitar tiga permen di tangannya. Aku hanya tersenyum melihatnya. Lagi-lagi sedang mencari perhatian.
"Kak, ayo shalat," ajak Septi.
"Shalatnya di mana?" tanyaku.
"Di masjid di sana," jawabnya.
Aku sendiri tak berani menuruti ajakannya, sebab aku sendiri belum tahu agenda yang sudah disiapkan. Aku menoleh pada seorang ikhwan di belakangku (gak jelas siapa, soalnya tanpa kacamata, nyaris gak bisa lihat, hehe) dan berteriak mengatasi suara riuh yang memenuhi senja, "Ini shalatnya di mana?"
Katanya di masjid. Baru saat itu aku menuruti ajakan Septi mengambil mukena di rumahnya. Dia menarikku dan mengajak Riris pulang. Di tengah jalan, Deby menyusul. Rumahnya lebih dekat daripada Septi, dan ketika akan membelok ke rumahnya, Deby berseru, "Kak, tunggu ya."Aku tidak mengiyakan, "Nanti ke rumah Septi aja. Oke?"
Anak kecil itu mengangguk dan berlari. Aku, Septi, dan Riris melanjutkan perjalanan. Aku lupa topik apa yang kita bincangkan waktu itu, tapi yang jelas, Septi berkata dengan nada mengingatkan seolah dia berjanji, "Insya Allah dong, Kak."
"Subhanallah," lirihku.
"Iya dong, Kak, kan udah kelas satu, jadi pinter," celotehnya bangga. Aku hanya mampu tersenyum.
Sebelum sampai di rumahnya, dia memberi tahu, "Kak, rumahku jelek lho, Kak."
"Nggak apa-apa," kataku mencoba memaklumi keadaannya. Namun tiba-tiba aku teringat satu hal yang seharusnya kuucapkan, dan langsung kusampaikan padanya, "Alhamdu..." kalimatku berhenti, memancingnya untuk melanjutkannya. Namun dia tak juga menyambung, jadi aku yang melanjutlan, "...lillah... Bersyukur, Dik, masih diberi rumah..."
Kami berbelok di satu... apa, ya, namanya? Dikatakan jalan, itu bukan jalan. Semacam gang, yang pinggirnya rumah-rumah kotak kecil. Seorang ikhwan menyusul kami (lagi-lagi gak lihat siapa) dan menginfokan, "Sholatnya nggak jadi di masjid, tapi di tempat tadi." Berkata begitu, dia berbalik lagi.
Aku, Septi, dan Riris menyusuri "jalan" dari rumah-rumah itu. Bentuk "perumahan" semacam ini baru kali ini kulihat sangat dekat. Biasanya aku hanya melihatnya dari jauh, atau dekat melalui sorotan kamera TV. Dengan mata rabun ini, semuanya memang tidak terlihat jelas, tapi sudah sangat menyentuh nurani. Kadang aku menyatakan diri sebagai orang yang tidak memiliki jiwa sosial, jarang terlibat dalam kegiatan sosial (kecuali mungkin sosial-politik alias sospol, hehe), tapi siapa sih yang tidak tergetar hatinya melihat fakta ini...?
***
Mereka memang anak jalanan. Tapi bukan sembarang anak jalanan. Mereka anak jalanan berprestasi. Ada yang berhasil meraih NEM tertinggi se-Kecamatan Gayamsari. Ada yang berhasil menjuarai lomba tartil se-Jawa Tengah.
Hal yang wajar jika anak-anak itu berteriak lantang, mencari perhatian kakak-kakak dari KAMMI Teknik yang datang untuk berbagi keceriaan bersama mereka.
No comments