Bersitan Hati Sore Hari
Setiap pulang kuliah menuju wisma, aku suka jalan kaki, terutama kalau cuaca mendukung (tidak hujan deras ataupun panas terik) dan tidak terburu-buru. Bisa ngirit ongkos angkot, sekaligus menggerakkan badan yang biasanya emang jarang gerak. Begitu pula Kamis sore lalu. Aku menjalani rutinitas jalan kaki itu. Tapi, baru sampai di depan Gedung Soedharto, aku melihat seorang akhwat menghentikan sepeda motornya tiga meter di depanku. Siapa gerangan, aku pun tak kenal. Tapi dia menoleh kepadaku dan berkata, "Mau bareng, nggak?"
Kalau yang menawarkan orang yang penampilannya "tidak meyakinkan", akan timbul prasangka dalam hatiku bahwa aku akan dibawa ke suatu tempat yang tak dikenal, diculik, atau diapakan lah. Fiksi banget, walaupun bisa saja terjadi di dunia nyata. Aku mengiyakan tawaran akhwat itu, sembari berpikir, apakah aku pernah mengenalnya? Yah, aku memang gampang lupa dengan orang yang baru sekali-dua kali kutemui. Jangan-jangan dia termasuk yang sekali-dua kali kutemui itu.
"Wismanya di mana?" tanyanya.
"Tsabita," jawabku. Sejauh ini belum pernah akhwat yang kutemui tidak tahu di mana Tsabita. Hehe...
"Fakultasnya apa?" lanjut si akhwat. Hmm... berarti baru kali ini kami bertemu.
"Teknik. Kalau Mbak?"
Obrolan pun berlanjut dengan perkenalan kami secara umum. Akhwat itu bernama Nurul, mahasiswi Keperawatan 2008. Wismanya di Salsabila, katanya depan Indomaret. Sayang, aku belum tahu di mana Salsabila itu berada.
Yang terlintas di benakku saat itu, secara spontan, adalah, "Nih akhwat baik banget, ya? Belum kenal tapi udah nawarin tumpangan sampai wisma. Subhanallah..."
Beberapa minggu sebelumnya, pernah juga ada kejadian seperti ini. Ada akhwat yang aku belum kenal tapi sudah mengantarkanku ke wisma. Aku lupa berapa kali. Teringat pula malam setelah ada evaluasi dari senior, aku belum berbuka dari puasa sunnah kecuali dengan segelas air yang diminum bersama seorang temanku. Menuju Masjid Baitul Ilmi untuk shalat Maghrib, di sana ada beberapa orang yang tampaknya juga sedang berbuka. Aku meminta segelas air pada salah seorang akhwat itu, dan tak dinyana dia juga memberikan beberapa makanan ringan di samping air mineral gelas. Subhanallah, baik banget ya, semua akhwat itu...
Kupikir, orang sebaik itu hanya ada dalam cerita fiksi yang sering kubaca. Sungguh takjub melihat akhwat sebaik itu di dunia nyata, bahkan terjadi padaku. Kok ada, ya, batinku.
Norak kali, ya? Mungkin karakter akhwat seperti itu sudah banyak bertebaran di dunia ini. Hanya saja, sebelum di kampus ini, aku belum pernah menemukan orang yang belum kenal tapi sudah mau memberi. Yah, di lingkunganku berasal, akhwat yang sering ketemu kan udah kenal semua. Itu pun jumlahnya hanya segelintir.
Itu baru sepenggal pemikiranku tentang akhwat kampus. Mengenai ikhwan kampus, mungkin aku lebih norak lagi.
Jujur, pertama kali melihat gerak para ikhwan kampus, khususnya yang berusia maksimal 3 tahun di atasku, aku takjub. Takjub melihat ikhwan yang bisa gerak cepat dalam mengambil keputusan, tahu apa yang harus dilakukan... pokoknya sadar diri lah. Beda jauh dengan ikhwan sebaya yang kukenal di SMA.
Waktu SMA dulu, rasanya makan hati banget bekerja sama dengan "ikhwan" pengurus Rohis. Hehe.. afwan buat yang ngerasa, tapi waktu itu aku sampai hampir tiap hari meledak emosi gara-gara mereka jarang punya konsep yang baik (setidaknya untuk ukuran orang yang belum "faham") tentang program Rohis, cuek dalam mengurusi Rohis, udah gitu kalau dimintai tolong sering nolak. Bahkan untuk mengajak mentoring the leader of ikhwan pun sampai harus debat kusir segala. Sampai-sampai, dalam suatu obrolan siang, kami para akhwat sepakat bahwa akhwat Rohis di sana adalah tipe pengonsep, sedangkan ikhwannya tipe pekerja.
Jangankan di kampusku yang jumlah ikhwan berkali lipat lebih banyak dibandingkan akhwat (khas Teknik). Mengetahui ada aktivis (ikhwan dan akhwat) Rohis SMA di Semarang bawah yang faham, alim, dan kritis pun aku bisa takjub banget. Pikirku, "Wow, subhanallah banget..."
Ada sebuah kerinduan di hati... Kapan ya, aku bisa menemui aktivis semacam itu di Ungaran? Kalaupun ada yang seperti itu, rata-rata sudah lebih dari lima tahun di atasku.
Well, harusnya start from myself. Bandingkan beberapa akhwat yang kutemui itu dengan diriku. Jangankan mengajak boncengan (kalau punya motor) atau jalan bareng. Untuk mengajak bicara teman yang setiap hari bertemu di kampus saja jarang kulakukan. Bahkan teman sewisma sendiri belum tentu semua kusapa pada satu hari. Paling-paling hanya yang sudah akrab saja yang aku bisa "bicara". Gimana mau lebih membaur dengan orang lain?
Mbak Nurul menghentikan motornya di depan Tsabita. Membuyarkan segala hal yang sedang mampir di kepalaku.
"Jazakillah khair ya, Mbak," kataku sambil menyalaminya.
"Wa iyyaki," sahut Mbak Nurul sebelum memutar motornya di depan wismaku.
No comments