Perjalanan Jum'at Malam
Jum'at, 14 Januari 2011 (btw, kok nggak tanggal 13 sekalian, ya? kan tambah "mistis" tuh)
Lagi asyik-asyiknya aku dan Mbak Retno ngobrol di kamarku, tahu-tahu Mbak Kiki masuk, menyerahkan kunci motor pada Mbak Retno. “Kamu tadi yang make motorku, kan? Nanti dimasukin, ya,” kata Mbak Kiki sambil ngeloyor pergi.
"Enak aja," Mbak Retno misuh-misuh.
Mendadak, timbullah niat nakal di pikiranku. Pake aja tuh motor. Jalan-jalan ke mana kek. Padahal, waktu itu sudah mendekati jam delapan. Atau mungkin sudah lebih? Yah, sekadar buat refreshing aja. Agak “suntuk” juga nih dengan beragam masalah yang kami berdua hadapi. Plus, sisi nakal dari diri kami berdua. Hehe... Jadilah kami nekat pergi dengan motor Mbak Kiki itu. Tujuannya... cari makan sampai Ngesrep. Boleh dong, sekali-sekali makan yang agak jauh?
Baru sampai depan gang wisma, Si Merah (panggilan buat motor Mbak Kiki) mulai manja. Pas mau nyebrang, kagak bisa di-starter. Dengan ke-soktahu-anku (padahal kagak kenal apa-apa soal motor), kami berdua sepakat bahwa mungkin bensinnya habis. Sempet ada rencana mau balik lagi aja, tapi untunglah Si Merah masih mau jalan untuk dibelikan minum bensin.
Mendekati warung penyet tujuan kami, Si Merah kembali merajuk. Tapi masih beryukur dia mau menurut untuk berjalan beberapa meter. Sambil makan, aku dan Mbak Retno ngobrol ngalor-ngidul tentang organisasi di kampus. Tanpa terasa, di tengah makan kami menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit. Seperempat jam lagi udah batas waktu keluar dari wisma, nih. Kami pun mempercepat proses makan kami.
Tujuh menit sebelum jam sembilan, Mbak Retno sudah mengeluarkan motor dari parkiran. But, kali ini Si Merah ngambeknya nggak ketulungan. Di-starter berulang kali, Si Merah mengeluarkan aksi mogok jalan. Sampai dua motor lain sudah menyeberang dari jalan, Mbak Retno masih berkutat membujuk Si Merah. Dibelai-belai, disayang-sayang... beneran, aku aja sampai bilang gini sama tuh motor, “Ayo dong, Sayang... Maaf nih udah ngajakin kamu tanpa ijin pemilikmu. Sekarang jalan dulu, ya.”
Tapi tetep aja Si Merah merengek-rengek nggak mau jalan. Panik, kami berdua SMS majikannya Si Merah. Ijin juga ke Mbak Ira kalo pulang telat. Rasanya suara teguran Mbak Kiki, sang Presiden Tsabita, dan Mbak Meike serta Mbak Ira sebagai DPA Tsabita sudah terngiang di telinga kami, “Akhwat keluar malam-malam gini cuma mau makan, bla bla bla...”
Dua puluh menit kemudian, Mbak Kiki datang dengan motor Mbak Meike. Sedikit lega juga karena Mbak Kiki tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyemprotku dan Mbak Retno karena ulah nakal kami ini. Walaupun sempet kepikiran juga, jangan-jangan Mbak Kiki menyimpan dampratannya buat di wisma nanti.
Sementara itu, Pak Parkir dibantu beberapa orang laki-laki yang ada di sana mencoba membujuk Si Merah agar mau jalan. Sampai setengah jam berikutnya, Si Merah masih menolak dinyalakan mesinnya. Pilihan yang diajukan Mbak Kiki adalah... seandainya sampai detik terakhir para bapak itu masih belum bisa membetulkan Si Merah, kami bertiga akan menuntun motor itu sampai Tsabita, atau bisa juga minta tolong ikhwan untuk mendorongkan motor itu ke sana (kalau ada ikhwan baca ini, pasti bakal bilang, “Enak aja. Emang kita siapa?” Hehe... Peace...)
“Tanya Mbak Meike dulu aja, boleh nggak kalau minta tolong ikhwan,” kata Mbak Kiki.
Aku menuruti saran Mbak Kiki. Karena kapasitas SMS-ku sudah melebihi batas, SMS yang masuk harus menunggu. Aku menghapus beberapa SMS yang kurang penting, menunggu SMS yang aku yakin dari Mbak Meike masuk. Mbak Kiki pun mengatakan bapak-bapak itu kalau kami akan menuntunnya jalan.
“Kosnya di mana to, Mbak?” tanya salah satu bapak.
“Deket sini kok, Pak,” jawab Mbak Kiki. Padahal, tempat kami berada saat itu hanya beberapa ratus meter dari pertigaan Ngesrep yang ada patung Pangeran Diponegoro itu. Jarak tempat itu sampai wisma di Tembalang... itung sendiri lah.
Mbak Kiki pun mengajukan sebuah ide: aku duduk melangkah dibonceng Mbak Retno pakai motor Mbak Meike, sementara Mbak Kiki menaiki Si Merah. Tangan kiriku kemudian menggandeng tangan kanan Mbak Kiki. Mbak Retno mengendarai motor itu dengan kecepatan konstan, beberapa senti di sebelah serong kanan Si Merah, dan tangan kiriku menarik Mbak Kiki dan motornya. Bisa jalan juga, akhirnya. Hehe...
Baru beberapa meter jalan, Mbak Kiki menyarankan untuk bertukar tempat dengan Mbak Retno. Alasannya, tubuh Mbak Retno yang lebih ringan daripada Mbak Kiki akan memudahkanku untuk menariknya. Benarlah, Mbak Retno memang lebih mudah ditarik. Sayangnya, motornya nggak ikutan jalan. Jadi cuma Mbak Retno doang yang ketarik sementara Si Merah bertahan pada posisinya. Akhirnya mereka berdua kembali pada posisi semula.
Sebelum melewati terowongan jalan tol, jalan mulai menurun, dan Mbak Kiki melepaskan tangannya dari tanganku, membiarkan Si Merah melucur sendiri. Aku dan Mbak Retno mengikutinya dari belakang. Setelah melewati jalan tol, tangan Mbak Kiki sudah terulur ke kanan menantiku memegang tangannya kembali. Mbak Retno cukup khawatir juga kalau Mbak Kiki kemudian menggandeng tangan yang salah, soalnya posisi motor yang dikendarai Mbak Retno masih berjarak cukup jauh dari Mbak Kiki. Nyelip sana, nyelip sini... akhirnya tanganku menyambut uluran tangan Mbak Kiki.
Di perempatan pom bensin, kami belok kanan. Jalan lebih sepi. Kami melanjutkan “aksi” seru ini sambil tertawa-tawa. “Ini akhwat kelakuannya kayak gini,” komentar Mbak Kiki.
"Eh, kalo tangannya Lila ditarik-tarik terus gini, tambah panjang nih," lanjut Mbak Kiki.
"Kalo gitu, pegangannya kakiku aja, Mbak," sahutku. "Kalo kakiku molor kan aku jadi tambah tinggi. Hahaha..."
Mendekati jembatan yang menjadi perbatasan antara Jalan Sirojudin dan Jalan Banjarsari, Mbak Kiki turun dari Si Merah dan menuntunnya, soalnya tuh jalan agak naik. Setelah di jembatan, aku turun dari motor dan membantu Mbak Kiki dengan mendorong Si Merah dari belakang.
Sambil menuntun dan mendorong Si Merah, masih sempat-sempatnya aku dan Mbak Kiki menyuarakan takbir. Mana Mbak Kiki pakai jaket hitam yang di belakangnya bertuliskan “Muslim Negarawan” itu.
“Kenapa nggak sekalian jaketnya dibalik, jadi pakai yang merah aja, Mbak?” komentarku sambil tertawa. Aku melanjutkan, “Ini beneran pelajaran mengendarai motor, deh. Pelajaran pertama: mengeluarkan motor dari rumah. Pelajaran kedua: mendorong motor.”
Mbak Kiki ikutan tertawa. Sejauh ini, Mbak Kiki memang berkontribusi dalam hal mengajariku dasar-dasar naik motor ini. Di wisma, yang paling semangat nyuruh aku ngeluarin motor sebagai bagian dari tugas piket kan Mbak Kiki. Sekarang dorong motor didampingi Mbak Kiki. Guruku belajar naik motor banget, nih.
Memasuki Gang Gayamsari, aku kembali ke boncengan Mbak Retno. Mbak Kiki menaiki Si Merah tanpa perlu menghidupkan mesinnya, lagi-lagi karena jalan menurun, Si Merah tinggal digelundungin aja. Ketika motor sudah berhenti di depan wisma, Mbak Kiki berkata, “Allahu Akbar!” yang kemudian diikuti olehku.
Wisma sepi. Semua orang sudah memasuki kamar masing-masing. Prasangka burukku bahwa Mbak Kiki akan mendampratku dan Mbak Retno tidak terbukti. Mbak Kiki justru minta maaf karena motornya yang ngadat. Sementara aku dan Mbak Retno masih sedikit merasa bersalah. Saat itu HP-ku berbunyi, menunjukkan SMS dari Mbak Meike sudah masuk, “Minta tolong ikhwan boleh.”
Yaah, kita udah di rumah nih, Mbak... batinku. SMS-nya telat masuk...
Tidak bisa tidur, kami bertiga berbincang sampai malam tentang amanah di organisasi. Baru jam 00.20 aku dan Mbak Kiki menghentikan percakapan, menyusul Mbak Retno yang ternyata sudah tidur pulas.
Lagi asyik-asyiknya aku dan Mbak Retno ngobrol di kamarku, tahu-tahu Mbak Kiki masuk, menyerahkan kunci motor pada Mbak Retno. “Kamu tadi yang make motorku, kan? Nanti dimasukin, ya,” kata Mbak Kiki sambil ngeloyor pergi.
"Enak aja," Mbak Retno misuh-misuh.
Mendadak, timbullah niat nakal di pikiranku. Pake aja tuh motor. Jalan-jalan ke mana kek. Padahal, waktu itu sudah mendekati jam delapan. Atau mungkin sudah lebih? Yah, sekadar buat refreshing aja. Agak “suntuk” juga nih dengan beragam masalah yang kami berdua hadapi. Plus, sisi nakal dari diri kami berdua. Hehe... Jadilah kami nekat pergi dengan motor Mbak Kiki itu. Tujuannya... cari makan sampai Ngesrep. Boleh dong, sekali-sekali makan yang agak jauh?
Baru sampai depan gang wisma, Si Merah (panggilan buat motor Mbak Kiki) mulai manja. Pas mau nyebrang, kagak bisa di-starter. Dengan ke-soktahu-anku (padahal kagak kenal apa-apa soal motor), kami berdua sepakat bahwa mungkin bensinnya habis. Sempet ada rencana mau balik lagi aja, tapi untunglah Si Merah masih mau jalan untuk dibelikan minum bensin.
Mendekati warung penyet tujuan kami, Si Merah kembali merajuk. Tapi masih beryukur dia mau menurut untuk berjalan beberapa meter. Sambil makan, aku dan Mbak Retno ngobrol ngalor-ngidul tentang organisasi di kampus. Tanpa terasa, di tengah makan kami menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima belas menit. Seperempat jam lagi udah batas waktu keluar dari wisma, nih. Kami pun mempercepat proses makan kami.
Tujuh menit sebelum jam sembilan, Mbak Retno sudah mengeluarkan motor dari parkiran. But, kali ini Si Merah ngambeknya nggak ketulungan. Di-starter berulang kali, Si Merah mengeluarkan aksi mogok jalan. Sampai dua motor lain sudah menyeberang dari jalan, Mbak Retno masih berkutat membujuk Si Merah. Dibelai-belai, disayang-sayang... beneran, aku aja sampai bilang gini sama tuh motor, “Ayo dong, Sayang... Maaf nih udah ngajakin kamu tanpa ijin pemilikmu. Sekarang jalan dulu, ya.”
Tapi tetep aja Si Merah merengek-rengek nggak mau jalan. Panik, kami berdua SMS majikannya Si Merah. Ijin juga ke Mbak Ira kalo pulang telat. Rasanya suara teguran Mbak Kiki, sang Presiden Tsabita, dan Mbak Meike serta Mbak Ira sebagai DPA Tsabita sudah terngiang di telinga kami, “Akhwat keluar malam-malam gini cuma mau makan, bla bla bla...”
Dua puluh menit kemudian, Mbak Kiki datang dengan motor Mbak Meike. Sedikit lega juga karena Mbak Kiki tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyemprotku dan Mbak Retno karena ulah nakal kami ini. Walaupun sempet kepikiran juga, jangan-jangan Mbak Kiki menyimpan dampratannya buat di wisma nanti.
Sementara itu, Pak Parkir dibantu beberapa orang laki-laki yang ada di sana mencoba membujuk Si Merah agar mau jalan. Sampai setengah jam berikutnya, Si Merah masih menolak dinyalakan mesinnya. Pilihan yang diajukan Mbak Kiki adalah... seandainya sampai detik terakhir para bapak itu masih belum bisa membetulkan Si Merah, kami bertiga akan menuntun motor itu sampai Tsabita, atau bisa juga minta tolong ikhwan untuk mendorongkan motor itu ke sana (kalau ada ikhwan baca ini, pasti bakal bilang, “Enak aja. Emang kita siapa?” Hehe... Peace...)
“Tanya Mbak Meike dulu aja, boleh nggak kalau minta tolong ikhwan,” kata Mbak Kiki.
Aku menuruti saran Mbak Kiki. Karena kapasitas SMS-ku sudah melebihi batas, SMS yang masuk harus menunggu. Aku menghapus beberapa SMS yang kurang penting, menunggu SMS yang aku yakin dari Mbak Meike masuk. Mbak Kiki pun mengatakan bapak-bapak itu kalau kami akan menuntunnya jalan.
“Kosnya di mana to, Mbak?” tanya salah satu bapak.
“Deket sini kok, Pak,” jawab Mbak Kiki. Padahal, tempat kami berada saat itu hanya beberapa ratus meter dari pertigaan Ngesrep yang ada patung Pangeran Diponegoro itu. Jarak tempat itu sampai wisma di Tembalang... itung sendiri lah.
Mbak Kiki pun mengajukan sebuah ide: aku duduk melangkah dibonceng Mbak Retno pakai motor Mbak Meike, sementara Mbak Kiki menaiki Si Merah. Tangan kiriku kemudian menggandeng tangan kanan Mbak Kiki. Mbak Retno mengendarai motor itu dengan kecepatan konstan, beberapa senti di sebelah serong kanan Si Merah, dan tangan kiriku menarik Mbak Kiki dan motornya. Bisa jalan juga, akhirnya. Hehe...
Baru beberapa meter jalan, Mbak Kiki menyarankan untuk bertukar tempat dengan Mbak Retno. Alasannya, tubuh Mbak Retno yang lebih ringan daripada Mbak Kiki akan memudahkanku untuk menariknya. Benarlah, Mbak Retno memang lebih mudah ditarik. Sayangnya, motornya nggak ikutan jalan. Jadi cuma Mbak Retno doang yang ketarik sementara Si Merah bertahan pada posisinya. Akhirnya mereka berdua kembali pada posisi semula.
Sebelum melewati terowongan jalan tol, jalan mulai menurun, dan Mbak Kiki melepaskan tangannya dari tanganku, membiarkan Si Merah melucur sendiri. Aku dan Mbak Retno mengikutinya dari belakang. Setelah melewati jalan tol, tangan Mbak Kiki sudah terulur ke kanan menantiku memegang tangannya kembali. Mbak Retno cukup khawatir juga kalau Mbak Kiki kemudian menggandeng tangan yang salah, soalnya posisi motor yang dikendarai Mbak Retno masih berjarak cukup jauh dari Mbak Kiki. Nyelip sana, nyelip sini... akhirnya tanganku menyambut uluran tangan Mbak Kiki.
Di perempatan pom bensin, kami belok kanan. Jalan lebih sepi. Kami melanjutkan “aksi” seru ini sambil tertawa-tawa. “Ini akhwat kelakuannya kayak gini,” komentar Mbak Kiki.
"Eh, kalo tangannya Lila ditarik-tarik terus gini, tambah panjang nih," lanjut Mbak Kiki.
"Kalo gitu, pegangannya kakiku aja, Mbak," sahutku. "Kalo kakiku molor kan aku jadi tambah tinggi. Hahaha..."
Mendekati jembatan yang menjadi perbatasan antara Jalan Sirojudin dan Jalan Banjarsari, Mbak Kiki turun dari Si Merah dan menuntunnya, soalnya tuh jalan agak naik. Setelah di jembatan, aku turun dari motor dan membantu Mbak Kiki dengan mendorong Si Merah dari belakang.
Sambil menuntun dan mendorong Si Merah, masih sempat-sempatnya aku dan Mbak Kiki menyuarakan takbir. Mana Mbak Kiki pakai jaket hitam yang di belakangnya bertuliskan “Muslim Negarawan” itu.
“Kenapa nggak sekalian jaketnya dibalik, jadi pakai yang merah aja, Mbak?” komentarku sambil tertawa. Aku melanjutkan, “Ini beneran pelajaran mengendarai motor, deh. Pelajaran pertama: mengeluarkan motor dari rumah. Pelajaran kedua: mendorong motor.”
Mbak Kiki ikutan tertawa. Sejauh ini, Mbak Kiki memang berkontribusi dalam hal mengajariku dasar-dasar naik motor ini. Di wisma, yang paling semangat nyuruh aku ngeluarin motor sebagai bagian dari tugas piket kan Mbak Kiki. Sekarang dorong motor didampingi Mbak Kiki. Guruku belajar naik motor banget, nih.
Memasuki Gang Gayamsari, aku kembali ke boncengan Mbak Retno. Mbak Kiki menaiki Si Merah tanpa perlu menghidupkan mesinnya, lagi-lagi karena jalan menurun, Si Merah tinggal digelundungin aja. Ketika motor sudah berhenti di depan wisma, Mbak Kiki berkata, “Allahu Akbar!” yang kemudian diikuti olehku.
Wisma sepi. Semua orang sudah memasuki kamar masing-masing. Prasangka burukku bahwa Mbak Kiki akan mendampratku dan Mbak Retno tidak terbukti. Mbak Kiki justru minta maaf karena motornya yang ngadat. Sementara aku dan Mbak Retno masih sedikit merasa bersalah. Saat itu HP-ku berbunyi, menunjukkan SMS dari Mbak Meike sudah masuk, “Minta tolong ikhwan boleh.”
Yaah, kita udah di rumah nih, Mbak... batinku. SMS-nya telat masuk...
Tidak bisa tidur, kami bertiga berbincang sampai malam tentang amanah di organisasi. Baru jam 00.20 aku dan Mbak Kiki menghentikan percakapan, menyusul Mbak Retno yang ternyata sudah tidur pulas.
No comments