Mengintip Hati Andika
Ketika membersihkan lemari tempat dia menyimpan buku-buku pelajaran lama, Andika menemukan sebuah buku kecil. Dia sudah lupa buku apa itu. Dibukanya halaman pertama, barulah dia ingat. Buku harian yang rajin dia isi sejak kelas tiga SMP.
Biasanya laki-laki malu menulis buku harian, tapi sejak kecil dia suka sekali menulis. Rasanya mengangkat separuh beban hidupnya. Buku harian pertamanya bersampul gambar Dragon Ball. Setelah SMP, dia lebih suka menulis pada buku catatan tebal.
Sekarang, dia membuka lembar demi lembar buku itu. Ketika mencapai bagian akhir, dia tersenyum geli mengingat apa yang pernah dirasakannya. Sebuah kisah yang pernah memberinya perasaan nyaman, dan membawanya ke kehidupannya sekarang.
Disimpannya buku itu, baru dibuka lagi setelah selesai membersihkan lemari. Dibacanya sambil berbaring di tempat tidurnya. Tidak seluruhnya, tetapi hanya mencari kisah yang pernah memutar titik hidupnya.
(@_@) (@_@) (@_@)
=> 2008 <=
Senin, 21 Juli
Satu anak masih belum hadir di kelas ini. Padahal tahun ajaran udah mulai sejak seminggu yang lalu. Kasihan, baru masuk SMA udah "bolos", kabarnya sih masih opname di rumah sakit gara-gara tifus. Aku jadi pensaran sama tuh anak. Kayak apa, ya?
Rabu, 23 Juli
Akhirnya datang juga. Hehehe... bukan program di TV lho. Aku memang menunggu teman baru bernama Anna Siwi Ramadhani itu. Memang wajahnya masih agak pucat.
Yang tak kuduga, dia berjilbab lebar. Emang sih, nggak lebar-lebar amat, tapi untuk standar SMA ini udah termasuk yang paling lebar. Biar gitu, dia cantik banget, lho. Murah senyum, kalem.
Eh, tapi kok dia mirip banget sama Vera, ya? Cewek yang aku suka waktu SMP. Tinggi badannya, sikapnya, pakai kerudung juga... cuma wajahnya agak beda dikit, dan jilbab Vera nggak selebar si... eh, panggilannya bener Anna, kan?
Minggu, 30 November
Wuah, capeknya habis Persami. Tiga hari nggak mandi, gatel-gatel nih badan. Habis mau mandi gimana, kamar mandinya dikit, yang pakai ratusan. Belum lagi waktunya juga singkat banget.
Oya, kemarin ada kejadian seru, lho. Ceritanya, malam-malam kakak-kakak panitia menyuruh kami semua jalan ke kuburan (buat cowok sendiri-sendiri, cewek berdua). Di kuburan, kita disuruh jalan jongkok sambil menyembah-nyembah tiap tiga nisan. Kabarnya, ada panitia yang mengawasi dari jauh, jadi kalau kita mau ngibrit langsung ketahuan.
Sementara anak-anak lain jalan jongkok sambil nyembah-nyembah (dalam hati merinding juga, nih), si Anna dan pasangannya malah nyari panitia yang jaga. Setelah ketemu, dia langsung ngomong, "Saya tidak mau jalan jongkok sambil menyembah-nyembah ke kuburan ini, tapi saya tidak menolak kalau hanya jalan mengelilingi kuburan."
"Kalau takut, bilang aja, Dik," kata kakak panitia, ada nada meremehkan dalam suaranya.
"Untuk jalan di kuburan, saya nggak takut, Kak. Saya cuma takut sama Allah, sebab menyembah-nyembah di kuburan gini pada orang mati termasuk syirik. Yang pantas disembah begini hanya Allah."
"Tapi ini udah bagian dari acara. Kamu harus ikut, mau nggak mau."
"Mending saya dapat sanksi, Kak," tegas kata Anna, "daripada dosa saya tak terampuni."
"Baik. Pelantikan besok, kamu nggak boleh ikut."
Aku cuma dengar kejadian malam itu sampai di situ. Pantas saja, waktu pelantikan, dia tampak menyendiri. Sempet juga kepikiran, "Gila, rela nggak dilantik cuma gara-gara nggak mau nyembah-nyembah di kuburan."
Tapi aku kagum dengan keteguhan prinsipnya. Cewek satu ini emang istimewa, walau jarang bicara, sekali bicara dia dengan kuat mempertahankan pendiriannya.
=> 2009 <=
Selasa, 7 April
Ini ketiga kalinya dalam dua minggu terakhir. Surat cinta nggak jelas nyasar di mejaku. Siapa sih yang iseng banget ngirim surat kaleng gini? Basi, tahu nggak. Yang terakhir ini bahkan sempat ngajak aku jalan. Ih, siape loe?
"... you'll know me someday."
Dasar gombal. Emangnya gue cowok apaan? Besok lagi, jangan cuma gombal. Kalau perlu sampai serbet, keset, lap... Bosen gue.
Sabtu, 11 April
Akhirnya berhasil juga aku membongkar siapa yang ngirimin surat-surat aneh itu. Ternyata si Dea, anak kelas sebelah. Uh, cewek menor kayak dia bikin gue mau muntah aja. Bayangin, ke sekolah aja perhiasannya seabrek, mungkin bakal lebih banyak lagi kalau nggak ada aturan soal aksesoris.
Nggak sengaja aku denger percakapan antara dia dan temennya di kantin tadi. Dasar cewek, ngegosip kayak gitu di tempat umum dengan suara keras. Lucu juga ekspresinya waktu temennya itu nunjuk gue sambil menekap mulutnya horor.
Sebelum mendatangi Ibu Kantin buat bayar, aku samperin tuh cewek, "Dea, sorry ya, cewek menor macam dirimu bukan seleraku. Nggak usah mengharapkanku lagi, deh. Aku lebih suka cewek yang kalem, nggak cerewet, dan punya prinsip yang kuat." Dalam hati aku menambahkan, seperti Anna. Ups!
Rabu, 13 Mei
Anak OSIS udah jadi panitia, masih dipersilakan pegang peran dalam kompetisi drama antarkelas akhir tahun. Idenya siapa, sih? Nyesel juga, rapat kemarin aku nggak ikut gara-gara ulangan susulan Fisika.
Gara-gara itu, anak-anak kelasku memaksaku ambil peran utama. Mentang-mentang di kepanitiaan aku cuma jadi Sie Dokumentasi. Padahal dokumentasi di sini nggak cuma modal kamera dan baterai, tapi juga mendokumentasikannya dalam bentuk film. Gila!
Tapi untungnya, ada kompensasi yang sepadan. Yang berperan jadi istriku... si Anna. Bisa ngerasain bersanding sama dia, nih. Ehem!
Sabtu, 30 Mei
Semua itu nggak ada dalam naskah. Aku murni improvisasi. Bahkan pas latihan aku nggak selebai dan terlalu menghayati seperti itu. Sudah lama kupersiapkan, biar nggak ada yang protes atau ngeledekin. Hahaha, nggak rugi juga aku ikut ekskul teater.
Awalnya, Anna sedikit terkejut. Ya, aku bisa melihatnya dari sorot matanya. Tapi dengan cepat dia bisa menguasai situasi. Apa sih, yang tidak bisa dilakukan anak ini? Rasanya semua hal dia kuasai dengan baik. Mungkin nilai-nilai hariannya nggak sempurna, tapi sepertinya juga jarang remidi!
Jum'at, 12 Juni
Belum ada dua minggu SMS-an sama dia, aku langsung merasa nyaman. Sebelumnya, aku selalu segan mengajaknya bicara. Ternyata, jilbaber enak juga ya, diajak ngobrol. Di kelas dia sepertinya jarang bicara.
"Kalau di kelas, kamu lebih sering diam," tulisku. "Tapi ternyata di SMS kamu bisa ngomong juga, ya. ^_^"
"Soalnya kalau bahasa tulisan emang lebih bebas, dan kata-katanya bisa diasah dulu," jawabnya.
Ternyata itu sebabnya.
(@_@) (@_@) (@_@)
Buku harian itu berhenti di sana. Masih ingin bernostalgia, dicarinya buku harian "lanjutan"nya. Lama mencari, belum juga ketemu.
Ke mana, ya?
Ah, ya. Andika baru ingat, lanjutan cerita itu ada di buku yang sekarang diisinya. Kadang, satu buku harian Andika bisa memuat isi hatinya selama dua tahun. Buku harian "aktif"nya selalu dibawanya dalam tas.
(@_@) (@_@) (@_@)
=> 2009 <=
Senin, 13 Juli
Penginnya masuk kelas IPS, ndilalah nilai IPS-ku ancur. Malah nilai IPA yang melesat naik. Hhh... malah masuk IPA, deh.
Meski IPA, kenapa nggak bisa sekelas sama Anna, ya? Huh! Mana kelasnya jauh lagi. Kalau aku masuk IPS kan, kelasnya cuma berjarak dua ruang. Lha meski sama-sama IPA, kelas si Anna di sebelah lapangan basket di depan sana, aku ada di sebelah kantin nun jauh di bagian belakang sekolah. Nggak bisa ketemu lagi, deh. Padahal kalau ketemu juga nggak ngomong apa-apa. Hehehe.
Nggak papa, deh. Biar jauh di mata, yang penting dekat di hati. (Usus dong, jauh dari mata, dekat sama hati.)
Sabtu, 1 Agustus
Pembicaraan ini akhirnya menguak sesuatu yang tak pernah benar-benar kupahami. Masalah kenapa dia sampai rela banget nggak dilantik gara-gara takut syirik doang.
"Apa itu suatu kewajiban untuk Persami?" tanyanya retoris. "Dalam artian, Persami akan 'garing' tanpa acara semacam itu? Setahuku, di sekolah-sekolah lain bahkan nggak ada tuh. Kalau cuma untuk uji nyali, misalnya, biasanya kan hanya kita disuruh jalan-jalan malam dengan mata ditutup. Atau kalau perlu bivack sekalian."
"Tapi bukannya segala sesuatu dinilai dari niatnya?" aku mencoba 'membalas'. "Kalau niat kita hanya untuk menghormati orang yang sudah meninggal, bukan menyembahnya, kan tidak bisa dikatagorikan syirik."
"Bener sih, segala sesuatu emang dari niat. Tapi niat di sini pun bukan karena terpaksa yang membahayakan jiwa. Sebagai contoh, ketika kita minum alkohol dengan niat setia kawan, bukankah setia kawan suatu hal yang baik? Tapi minum alkohol tetap saja dilarang keras, kan? Setia kawan bukan dengan cara seperti itu. Seperti dalam kuburan itu, niat kita hanya menghormati, tapi caranya salah. Kalau cuma menghormati, kenapa nggak lebih baik kerja bakti membersihkan kuburan, lalu mendoakan mereka?"
Aku kehabisan kata untuk mendebatnya. Eh, ternyata kalimatnya belum cukup sampai di situ, Sodara-sodara!
SMS berikutnya masuk, "Dan sayangnya... ini nggak hanya terjadi di sekolah kita. Di perguruan tinggi nanti, banyak juga PT yang kegiatan OSPEK-nya ada yang seperti itu. Itung-itung yang kemarin itu latihan deh, buat pas kuliah besok."
Penjelasan itu panjang sekali. Dari mana dia belajar semua itu? Aku ingin memiliki semua ilmunya itu.
Hayooo... ingin memiliki ilmunya apa memiliki Anna-nya?
Ah, tapi mana mungkin aku memiliki Anna. Mana mau juga dia sama aku? Dia alim, aku... dibilang alim enggak, dibilang "rusak" juga enggak... tanggung, pokoknya. Dia terkontrol banget, sedangkan aku... masih terlalu "bebas" untuk ukurannya. Sama anak cowok dia disentuh aja nggak mau, kalau aku udah biasa tuh pegang cewek.
Jum'at, 21 Agustus
Malam ini udah mulai tarawih. Puasa sudah menjelang. Sudah berhari-hari Anna sibuk banget mondar-mandir ngurusin kegiatan Ramadhan. Maklum, Rohiser aktif. Sebetulnya aku juga ikut Rohis, tapi nggak terlalu aktif. Jadinya di Ramadhan ini, meski namaku terdaftar sebagai anggota Sie Perlengkapan, kerjaku cuma bantu-bantu doang kalau dibutuhkan.
Minggu, 18 Oktober
Meski bukan Rohiser aktif, aku masih menyempatkan diri hadir di reshuffle Rohis. Secara, namaku tercantum sebagai pengurus.
Ternyata, Anna juga terpilih sebagai kandidat ketua keputrian. Hanya kandidat, soalnya yang kepilih temen sekelasku. Tapi itu membuatku semakin bangga... meski ada juga pertanyaan yang sempat terlontar dalam hati, "Dia saja aktivis tulen, pantaskah seorang Andika yang masih 'bebas' ini memilikinya?"
Kamis, 22 Oktober
"Barakallah, ya. Moga bisa jadi pemimpin yang amanah," itu tulisan Anna yang mampir ke HP-ku sore ini. 50% warga sekolah ini memercayaiku untuk memimpin mereka. Ketua OSIS, itulah jabatanku sekarang.
Aku sendiri nggak yakin terpilihnya aku ini semata-mata karena kemampuanku memimpin. Aku sempat curiga, yang memilihku ini adalah cewek-cewek yang, karena alasan yang tak bisa dinalar, nge-fans sama aku. Nggak tanggung-tanggung, waktu orasi tadi, ada serombongan cewek yang langsung jejeritan, ada satu juga yang teriak, "Luph u..."
Apaan seh? Bikin malu aja. Bisa jaim dikit kagak, sih?
Selasa, 17 November
Astaghfirullahal 'adziim.
Apa yang membuatku nekat ngomong gitu sama dia??? Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Awalnya aku cuma nge-forward SMS yang dikirim temanku, iseng doang sebetulnya. Tapi dia membalas SMS itu... seolah... menanggapi...
Aku cuma nulis kata-kata itu sekadar membayangkan... tidak berniat mengirimkannya sungguhan... Tapi sepuluh detik kemudian aku baru menyadari... SMS itu sent! Ceroboh! Aku sempat berharap tidak delivered, ternyata memang sampai padanya!
Andika bodoh! Mau kutaruh di mana mukaku sekarang? Satu kalimat itu memang benar adanya... bahkan membuatku nggak bisa berhenti memikirkannya... Namun bukan ini yang seharusnya terjadi!
Bagaimana jika dia mundur dari pertemanan ini? Dia sahabatku yang terbaik. Dia yang rajin mengingatkanku untuk tahajjud, untuk selalu ingat pada Allah. Seharusnya biarlah dia tidak tahu semua ini, asalkan aku tetap bisa dekat dengannya.
(@_@) (@_@) (@_@)
Suara adzan berkumandang. Andika menyembunyikan buku itu dalam tasnya lagi, dan berniat melanjutkan membaca setelah shalat maghrib.
Andika menyudahi bacaan Qur'an-nya. Tergesa, dia meletakkan Al Qur'an-nya dan meraih buku yang dia masukkan dalam tasnya. Masih ada cukup waktu untuk melanjutkan membaca, sebelum adzan Isya' membawanya kembali ke masjid.
(@_@) (@_@) (@_@)
Rabu, 18 November
Alhamdulillah, Anna nggak marah sama aku. Dia pun masih mau melanjutkan persahabatan kami. Yipee... Dan aku berjanji untuk tidak membuatnya kecewa. Salah satunya, mengikuti mentoring, sebagai salah satu program kerjanya di Rohis (dia menjabat sebagai koordinator Kaderisasi, dan semua Rohiser sekarang wajib ikut mentotring, walaupun sebelumnya hanya "sunnah").
Jum'at, 8 Desember
Mentoring ternyata menyenangkan juga. Dulu, pertama kali dikasih mentoring sama kakak kelas waktu MOS, rasanya nggak terlalu asyik. Mungkin karena pematerinya kakak kelas yang masih suka nervous kalau ngisi, jadi nggak begitu "menguasai" materinya. Tapi ketika mentoring betul-betul dimentori oleh seseorang yang sudah berpengalaman, kelompok ini terasa seperti "gank" yang selalu mendiskusikan the latest news about Islam.
Mentorku, Mas Adi, alumni Rohis sekolahku juga. Beliau sekarang masih semester tig Sistem Komputer UNDIP. Kalau menyampaikan materi, Mas Adi sering menggunakan bahasa-bahasa gaul gitu. Jadi model metode kami "sersan", biar SERius tapi tetap SANtai.
Minggu ini memang untuk sementara mentoring libur dulu, soalnya masih semesteran. Tapi setelah semesteran, Mas Adi mengajak kami hiking ke Semirang.
Harus kuakui, semakin lama ikut mentoring, aku semakin memahami mengapa Anna sepertinya cukup terkontrol. Lembar evaluasi ibadah harian yang harus disetorkan kepada sang mentor setiap minggu sering membuatku malu kalau masih banyak yang bolong. Dan itu semakin memacu semangatku untuk rajin melaksanakan ibadah sunnah.
Thanks, Anna...
=> 2010 <=
Selasa, 12 Januari
"Mas, kenapa sih kok cewek-cewek Rohis yang pakai jilbab lebar kadang terkesan antipati sama cowok?" tanya Irvan waktu mentoring tadi. "Diajak salaman nggak mau, malah ada satu yang kalau ngomong sama cowok pakai nunduk segala."
Kata Mas Adi, memang kita diharuskan menjaga pergaulan terhadap lawan jenis. Kalau jilbaber nggak mau diajak salaman, bukan berarti mereka antipati atau sombong, tapi itu sebagai bentuk penjagaan diri mereka. Kepala ditusuk jarum lebih baik, kata Mas Adi. Trus... tadi penjelasannya apa lagi, ya? Banyak banget deh, pokoknya. Yang soal nggak mau terlalu sering memandang lawan bicara yang berlainan jenis juga katanya demi menjaga pandangan.
Selasa, 17 Januari
Giliran Heru yang tanya, "Bener nggak sih, Mas, kalau cewek berjilbab tuh lebih sensitif daripada cewek nggak pakai jilbab? Dalam artian... mereka gampang 'luluh' oleh perhatian cowok."
Nih, ringkasannya jawaban Mas Adi:
Cewek berjilbab yang menjaga pergaulan emang lebih peka terhadap perhatian cowok. Soalnya, mereka kan emang nggak terlalu sering bergaul dengan lawan jenis, jadi begitu ada perhatian dikit, bisa jadi mereka kira apa yang kita lakukan itu bentuk perhatian padanya, padahal niat kita biasa aja. Pokoknya gitu, lah. Contohnya, kalo cewek lain udah biasa dipegang sama laki-laki, jilbaber kena sentuh cowok (walaupun nggak sengaja), langsung ngerasa kesetrum.
Itukah sebabnya Anna merespon... aku? Sebelumnya, kulihat dia "dingin" sama cowok, nggak tahunya pas SMS-an... perhatiannya cukup besar. Ya, aku sempat menangkap rasa "risih" pertama kali SMS-an dengannya, walaupun lama-lama semuanya mengalir begitu saja.
Sabtu, 6 Februari
"Jika kamu mencintai dia karena Allah, sekuat tenaga kamu akan melakukan yang terbaik buatnya. Bukan sekadar memenuhi apa yang dia inginkan, tapi apa yang dia butuhkan. Dia butuh kesucian sebelum menikah, dia butuh dijauhkan dari siksa neraka, dia butuh belajar bahwa hanya Allah yang mencintainya dengan tulus tanpa pamrih."
Kalimat itu ada di sampul belakang sebuah buku yang kutemukan di Gramed, pas aku jalan-jalan tadi. Sayang, aku nggak bawa uang lebih. Uangku cuma cukup buat beli buku latihan soal-soal yang kubutuhkan. Judulnya aku lupa, tapi yang nulis kayaknya namanya Fadhila... siapa, gitu.
Satu paragraf itu terus terngiang di telingaku sampai sekarang. Apa maksudnya susunan kalimat itu?
Akan kutanyakan Mas Adi pas mentoring mendatang.
Rabu, 10 Februari
Aku memutuskan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Nggak seluruhnya sih, cuma tentang aku suka seorang jilbaber dan... sempet nembak.
"Jilbaber akan lebih memilih dilamar langsung daripada ditembak dulu," kata Mas Adi.
Hah? Masih kelas 2 SMA gini suruh nikah? Yang bener aja.
"Tapi kalau kamu belum siap, jaga dulu hatimu. Dianya juga belum tentu siap apa belum."
"Tapi, Mas, dia sendiri juga mau-mau aja deket sama aku, walaupun, emang sih, nggak pacaran..."
"Dia sendiri juga sebetulnya pengin jaga hatinya, Mas yakin. Cuma mungkin dia sedang goyah..."
"Trus, aku harus gimana? Salahkah aku menggoyahkan hatinya?"
"Coba dianalisis sendiri, dari penjelasan Mas tadi."
Kamis, 18 Februari
Aku nggak pernah menyesal ikut mentoring. Mentoring sudah membuka wawasanku tentang Islam, tentang kebenaran hakiki. Aku juga mulai mencintai Allah... jika dulu, masya Allah, aku sempat mencintai Anna lebih besar daripada cintaku pada Allah, sekarang aku sadar... Anna sendiri masih membutuhkan cinta Allah. Astaghfirullah...
Tapi kenapa aku masih berat untuk melepas Anna? Tapi aku harus. Aku mencintainya, dan aku tak ingin "menodainya". Masihkah aku memiliki kesempatan memiliki Anna...someday, maybe?
Allah, help me!
Senin, 22 Februari
Demi Allah, Anna, jangan hubungi aku lagi. Semakin kamu menghubungiku, semakin berat aku melepasmu. Aku hanya ingin membantumu meraih kesucian hatimu. Pun aku, aku menginginkan kesucian bagiku.
Maaf, aku harus berkata kasar padamu. Tanpa kata-kata itu, kamu akan terus mengotori hatimu sendiri. Biarlah sekarang kita berdua sakit, tapi nanti kamu akan lega. Aku tahu, hatimu sebetulnya ingin kembali pada cinta-Nya, namun nafsu yang sempat kuciptakan yang membuatmu berpaling.
Aku yang menorehkan luka hati dengan cinta makhluk, aku pula yang akan menebusnya. Raihlah keabadian cinta-Nya, setelah kau bisa melupakanku.
(@_@) (@_@) (@_@)
Dikembalikannya buku itu ke dalam tas. Dalam hati, dia berterima kasih pada Anna. Melaluinyalah, Andika menemukan hidayah Allah. Dan sudah lama dia berusaha mengubur harapan yang sempat memancar... hingga takdir Allah yang lain yang akan memutuskan, apakah harapan lama itu akan terpenuhi, atau tergantikan oleh yang lebih baik.
Andika kaget ketika iqamah terdengar. Masya Allah, gara-gara keasyikan membaca masa lalunya, dia tidak mendengar adzan Isya'. Untungnya dia masih punya wudhu dari Maghrib tadi. Buru-buru ia berlari ke masjid yang cuma terpaut tiga rumah dari rumahnya.
No comments