Unfair English Debate Contest
Ketika menulis ini, aku bahkan belum beristirahat sepulang dari lomba debat berbahasa Inggris di SMAN 1 Tuntang. Lomba ini diadakan oleh Kab. Semarang untuk mencari wakil Kab. Semarang mengikuti lomba serupa tingkat karesidenan.
Lawan pertama kami (SMAN 1 Ungaran) adalah tuan rumah. Dengan motion "We must stop commercialization in education," kami memenangkan babak tersebut. Luina, my second speaker, menjadi the best speaker. Karena "menganut" (emang aliran?) sistem gugur, kami otomatis melangkah ke babak selanjutnya, melawan SMA Virgo Fidelis. Aku optimis menang setelah sebelumnya mengalahkan tuan rumah.
Pas juri melakukan evaluasi, pesimis mulai melandaku. Si juri terlihat sekali lebih mendukung Virgo, maksudku, ketika evaluasi beliau meminimalisir mengomentari kelemahan lawanku itu. Sementara kelemahan kami diekspos habis-habisan. Aku hanya bisa berdoa, setengah "memaksa" agar Allah memberikan yang terbaik menurut-Nya.
Seandainya kami kalah karena 2 dari 3 juri lebih memenangkan lawan, aku masih menerima. Tapi, juri melakukan kesalahan yang sama seperti tahun lalu. Kami kalah karena skor kami 4 poin di bawah Virgo. Padahal kalau debat kan yang diutamakan dalam penjurian bukan nilai, tapi voting juri.
Mungkin dua juri memang lebih memenangkan Virgo, tapi dari cara tuh juri menyampaikan pemenang (beliau cuma menyampaikan skornya) itu menandakan bahwa penilaian didasarkan pada skor. Padahal kalau yang jadi dasar adalah skornya, kan sama saja dengan speech beregu, bukan debat.
Guru-guru Kab. Semarang ini emang nggak tahu aturan debat, kali, ya? Bisa-bisanya! Bahkan mendengar namaku diumumkan sebagai the best speaker untuk babak ini tidak bisa meredakan emosiku!
Kenapa mereka nggak belajar dari kesalahan tahun lalu? Tahun lalu SMA 1 Ungaran memenangkan suara terbanyak dari juri, tapi tidak jadi mewakili Kab. Semarang hanya karena poin SMA 2 Ungaran lebih tinggi 9 angka. Dan hasilnya... Kab. Semarang menjadi peringkat terbawah se-Karesidenan Semarang.
Lihat kalau Kab. ini kalah lagi, nanti!
Lawan pertama kami (SMAN 1 Ungaran) adalah tuan rumah. Dengan motion "We must stop commercialization in education," kami memenangkan babak tersebut. Luina, my second speaker, menjadi the best speaker. Karena "menganut" (emang aliran?) sistem gugur, kami otomatis melangkah ke babak selanjutnya, melawan SMA Virgo Fidelis. Aku optimis menang setelah sebelumnya mengalahkan tuan rumah.
Pas juri melakukan evaluasi, pesimis mulai melandaku. Si juri terlihat sekali lebih mendukung Virgo, maksudku, ketika evaluasi beliau meminimalisir mengomentari kelemahan lawanku itu. Sementara kelemahan kami diekspos habis-habisan. Aku hanya bisa berdoa, setengah "memaksa" agar Allah memberikan yang terbaik menurut-Nya.
Seandainya kami kalah karena 2 dari 3 juri lebih memenangkan lawan, aku masih menerima. Tapi, juri melakukan kesalahan yang sama seperti tahun lalu. Kami kalah karena skor kami 4 poin di bawah Virgo. Padahal kalau debat kan yang diutamakan dalam penjurian bukan nilai, tapi voting juri.
Mungkin dua juri memang lebih memenangkan Virgo, tapi dari cara tuh juri menyampaikan pemenang (beliau cuma menyampaikan skornya) itu menandakan bahwa penilaian didasarkan pada skor. Padahal kalau yang jadi dasar adalah skornya, kan sama saja dengan speech beregu, bukan debat.
Guru-guru Kab. Semarang ini emang nggak tahu aturan debat, kali, ya? Bisa-bisanya! Bahkan mendengar namaku diumumkan sebagai the best speaker untuk babak ini tidak bisa meredakan emosiku!
Kenapa mereka nggak belajar dari kesalahan tahun lalu? Tahun lalu SMA 1 Ungaran memenangkan suara terbanyak dari juri, tapi tidak jadi mewakili Kab. Semarang hanya karena poin SMA 2 Ungaran lebih tinggi 9 angka. Dan hasilnya... Kab. Semarang menjadi peringkat terbawah se-Karesidenan Semarang.
Lihat kalau Kab. ini kalah lagi, nanti!
No comments