"Perjuangan" Buletin
Pas ngisi acara jurnalistik Iqro' yang diadakan di sekolahku, Pak Andi menugasiku dan teman-teman bikin buletin sekolah. Tapi aku dan teman-teman milih buletin Rohis aja. Tapi lagi, waktu itu kami sibuk bukan main, harus menyiapkan tarian untuk penilaian (mana aku paling nggak bisa nari, lagi!), dan seabrek alasan lainnya.
Aku ketemu lagi sama Pak Andi dalam follow up jurnalistik itu di SMANSAGAS. Beliau nagih buletinku. Lagi-lagi aku pengin mundur, dengan dalih sebentar lagi UTS. Emang, kok.
Trus, wakil koordinator pers, Dika, mengajakku bikin buletin. Aku langsung menanggapi dengan mengundangnya dan Dina ke rumahku pas kelas XII lagi UAN (jadi adik kelasnya libur). Di rumahku, kesepakatan yang kami dapat adalah nama buletin (BuRoQ, singkatan Buletin Rohis Q-ta. Komentar Dina, "Q-ta-nya maksa banget!"), dan tema edisi perdana. Kami mau mengangkat seputar telepon merah.
Sayangnya, pas mau wawancara sama narasumber (Pak Dahlan), ada sedikit "kejadian" dan akhirnya aku nggak jadi wawancara.
Trus, tak lama setelah itu, dalam seminggu terakhir aku sibuk ngurusin StarCamp. Maksudnya ngurusin pendaftaran ke sekretariat Iqro' (dua kali ke sana sampai sore, sampai rumah maghrib), belum lagi survei jalan (coz kita belum tahu tempatnya, walaupun sekali aku pernah ke sana). Dua-duanya bareng Mbak Lilik. Sementara soal buletin terlupakan, hanya dibahas pas di SSC itu lihat Shamiel dan berniat wawancara (alhamdulillah terpenuhi).
Minggu berikutnya, dengan kondisi masih capek habis SSC, aku berusaha ngebut bikin buletin. Rencananya mau diterbitkan pas pensi SMA, dan pensinya itu hati Ahadnya. Tema akhirnya diganti tentang surga. Tapi ya itu, badan masih capek (bayangin aja, tiap hari minimal ada satu pelajaran yang aku nggak merhatiin saking asyiknya tidur, padahal aku duduk persis di depan guru!), tugas yang menumpuk (cari bahan buat makalah TIK, bikin cerpen buat Bahasa Indonesia, dsb), tambahan Kimia... aku jadi nggak konsen bikin buletin.
Jum'atnya, aku pengin tuh buletin yang masih acak-acakan (baru selesai 50%), dikoreksi sama pengampu buletin (Pak Andi, maksudnya). Ternyata buletin itu dirombak habis-habisan, dan jadinya lebih bagus.
Sekali lagi tapi, setelah menghubungi penerbitnya, kalo buletin itu baru bisa jadi setelah 3 hari. Aku nyaris nangis saking stresnya. Kata Pak Andi, nangis pun nggak akan mengubah apa-apa, tapi sungguh, susah meredakan emosi ini.
Trus, minggu ini katanya udah jadi. Kata Mbak Lilik, minggu ini nggak mungkin disebarin, coz minggu-minggu ini kan lagi tes.
Ya Allah, astaghfirullah...
Aku capeeeeeeeeekkkk banget. Capek ini lebih ke hati, pikiran, meski gara-gara itu, fisikku juga pengin dipijetin.
Aku sampai nggak tahu lagi harus gimana meredam emosi yang satu ini. Mana lagi "cuti", jadi nggak bisa QL. Akhirnya, satu-satunya saluranku menulis. Bukankah menulis merupakan 50% dari penyelesaian masalah?
Alhamdulillah, habis nulis lega juga.
Aku ketemu lagi sama Pak Andi dalam follow up jurnalistik itu di SMANSAGAS. Beliau nagih buletinku. Lagi-lagi aku pengin mundur, dengan dalih sebentar lagi UTS. Emang, kok.
Trus, wakil koordinator pers, Dika, mengajakku bikin buletin. Aku langsung menanggapi dengan mengundangnya dan Dina ke rumahku pas kelas XII lagi UAN (jadi adik kelasnya libur). Di rumahku, kesepakatan yang kami dapat adalah nama buletin (BuRoQ, singkatan Buletin Rohis Q-ta. Komentar Dina, "Q-ta-nya maksa banget!"), dan tema edisi perdana. Kami mau mengangkat seputar telepon merah.
Sayangnya, pas mau wawancara sama narasumber (Pak Dahlan), ada sedikit "kejadian" dan akhirnya aku nggak jadi wawancara.
Trus, tak lama setelah itu, dalam seminggu terakhir aku sibuk ngurusin StarCamp. Maksudnya ngurusin pendaftaran ke sekretariat Iqro' (dua kali ke sana sampai sore, sampai rumah maghrib), belum lagi survei jalan (coz kita belum tahu tempatnya, walaupun sekali aku pernah ke sana). Dua-duanya bareng Mbak Lilik. Sementara soal buletin terlupakan, hanya dibahas pas di SSC itu lihat Shamiel dan berniat wawancara (alhamdulillah terpenuhi).
Minggu berikutnya, dengan kondisi masih capek habis SSC, aku berusaha ngebut bikin buletin. Rencananya mau diterbitkan pas pensi SMA, dan pensinya itu hati Ahadnya. Tema akhirnya diganti tentang surga. Tapi ya itu, badan masih capek (bayangin aja, tiap hari minimal ada satu pelajaran yang aku nggak merhatiin saking asyiknya tidur, padahal aku duduk persis di depan guru!), tugas yang menumpuk (cari bahan buat makalah TIK, bikin cerpen buat Bahasa Indonesia, dsb), tambahan Kimia... aku jadi nggak konsen bikin buletin.
Jum'atnya, aku pengin tuh buletin yang masih acak-acakan (baru selesai 50%), dikoreksi sama pengampu buletin (Pak Andi, maksudnya). Ternyata buletin itu dirombak habis-habisan, dan jadinya lebih bagus.
Sekali lagi tapi, setelah menghubungi penerbitnya, kalo buletin itu baru bisa jadi setelah 3 hari. Aku nyaris nangis saking stresnya. Kata Pak Andi, nangis pun nggak akan mengubah apa-apa, tapi sungguh, susah meredakan emosi ini.
Trus, minggu ini katanya udah jadi. Kata Mbak Lilik, minggu ini nggak mungkin disebarin, coz minggu-minggu ini kan lagi tes.
Ya Allah, astaghfirullah...
Aku capeeeeeeeeekkkk banget. Capek ini lebih ke hati, pikiran, meski gara-gara itu, fisikku juga pengin dipijetin.
Aku sampai nggak tahu lagi harus gimana meredam emosi yang satu ini. Mana lagi "cuti", jadi nggak bisa QL. Akhirnya, satu-satunya saluranku menulis. Bukankah menulis merupakan 50% dari penyelesaian masalah?
Alhamdulillah, habis nulis lega juga.
No comments