Negasi
Suatu hari, saya pernah diminta atasan saya untuk menguji program web buatan salah seorang rekan kerja. Program itu berfungsi, kurang lebih, melakukan pencarian tertentu. Salah satu fitur program yang dia tunjukkan adalah sliding button untuk mengurutkan pencarian sesuai abjad. Jika sliding button aktif, hasil pencarian akan diurutkan A-Z. Jika button diubah menjadi tidak aktif, hasil pencarian akan diurutkan dari Z-A.
Saya mengajukan pertanyaan, "Kenapa ketika button dinon-aktifkan setelah sebelumnya diaktifkan, hasil pencarian mengurutkan Z-A? Kenapa tidak kembali dalam kondisi acak seperti sebelum diurutkan?"
Rekan saya itu kemudian menunjukkan program serupa buatan institusi lain, yang menunjukkan adanya drop down menu yang mempersilakan audiens mengurutkan hasil pencarian agar sesuai abjad, baik A-Z maupun Z-A.
Saya kejar lagi, "Di program itu, hanya ada dua pilihan, sehingga audiens dipaksa hanya mengambil dua pilihan itu. Akan tetapi, di program yang Anda buat, Anda menggunakan sliding button, yang artinya audiens diberi dua opsi yang berlawanan. Pertanyaannya, apakah lawan dari A-Z adalah Z-A? Kenapa bukan acak?"
Rekan saya itu terlihat sedikit kebingungan dengan argumen saya, sedangkan saya justru terhanyut pada ingatan belasan tahun lalu, ketika saya duduk di bangku SMA.
* * *
Soal Matematika yang saya kerjakan salah. Soalnya tentang logika, lebih khusus lagi menanyakan negasi. Kira-kira begini pernyataan yang harus saya negasikan, "Semua siswa senang belajar."
Saya menganggap yang harus dinegasikan adalah kata "senang", sehingga saya menjawab, "Semua siswa tidak senang belajar."
Rupanya, jawaban saya salah. Yang benar adalah, "Ada siswa yang tidak senang belajar."
Saat itu sama sekali tidak masuk di logika saya. Mungkin karena saya menganggap negasi sebagai bentuk hitam-putih, sehingga menganggap kalau semua begini, berarti negasinya semua tidak begini.
Sama sekali tak terpikir oleh saya bahwa negasi dari semua adalah tidak semua, dan tidak semua berarti... ada.
* * *
Melihat teman saya masih kebingungan seperti itu, seolah ada yang menyalakan lampu di dalam kepala saya. Saya mendadak memahami, bahwa langkah menegasikan sebenarnya mudah saja, yaitu dengan menambahkan kata tidak di depan kata yang ingin kita negasikan, bukan di belakangnya. Ada–tidak ada. Boleh–tidak boleh. Harus–tidak harus. Senang–tidak senang. Tinggi–tidak tinggi.
Ah, jadi ingat lawakan Curanmor khas Cilacap yang pakai bahasa Ngapak itu.
Yang jelas, negasi tidak selalu sesuatu yang mutlak berlawanan. Apakah negasi hitam selalu putih? Padahal ketika kita mengatakan "tidak hitam", bisa jadi yang kita maksudkan adalah merah, hijau, kuning, biru.
Dalam konteks hukum Islam, biasanya kita mengidentifikasikan "tidak wajib" sebagai "sunnah". Padahal, sunnah hanya setingkat lebih rendah daripada wajib soal keharusannya. Lawan kata mutlaknya adalah haram. Namun, ketika kita mengatakan, "Shalat Dhuha itu tidak wajib," kita pastinya tidak memaksudkan bahwa "shalat Dhuha itu haram," kan?
Pemahaman akan negasi ini sangat penting terutama kalau menyangkut soal hukum. Seringkali, saya menemukan debat-debat tak berfaedah di media sosial karena kesalahpahaman semacam ini.
Misalnya, sebuah akun mengunggah soal hukum pernikahan antarsepupu. Dalam Islam, sepupu, termasuk sepupu pertama, bukan mahram alias boleh menikah, sehingga konsekuensinya kita harus menjaga aurat dan sentuhan dengan sepupu.
Pada kolom komentar, banyak akun ramai mengomentari dengan kalimat semacam, "Ih, saya, sih, ogah menikah sama sepupu. Kayak enggak ada orang lain saja." Padahal, siapa juga yang menyuruh umat menikahi sepupu masing-masing? Dalil itu kan bersifat pilihan: mau menikahi sepupu silakan, mau menikahi yang bukan sepupu juga silakan.
Mau contoh yang lebih ramai lagi? Mungkin... soal poligami. Dasarnya, poligami itu boleh. Akan tetapi, mendengar kata "boleh" saja, saat itu juga orang-orang menghujat tindakan satu ini. Hadeu, boleh, kan, bukan berarti kamu disuruh! Boleh pun, syarat dan ketentuan masih berlaku.
Kasus lain yang sering terjadi adalah, ketika ada sebuah pernyataan, dan kita menyatakan "tidak setuju", kita dianggap tidak kooperatif dengan idenya. Faktanya, pernyataan tersebut kadangkala memiliki negasi yang bertingkat, bukan mutlak.
Contohnya, saya pernah mengerjakan psikotes yang meminta pesertanya menjawab dengan "setuju" atau "tidak setuju" (secara bertingkat, alias masih ada pilihan sangat setuju, netral, dan sangat tidak setuju). Pernyataan yang dikeluarkan berbunyi, "Menghargai keyakinan orang lain lebih terpuji dibanding menjalankan ibadah sesuai ajaran agama."
Jujur, saya bingung memilih persetujuan atas pernyataan tersebut. Jika saya menjawab tidak setuju, ada kemungkinan saya akan dicap radikal karena dianggap egois dan tidak menghargai keyakinan orang lain. Di sisi lain, jika saya menjawab setuju, pernyataan ini sendiri bagi saya tidak valid, karena mempertentangkan dua hal yang sebenarnya bersisian, bukan berlawanan. Memangnya menghargai keyakinan orang lain berarti tidak menjalankan ibadah sesuai ajaran agama? Saya tidak tahu ajaran agama lain, tetapi dalam ajaran agama saya, Islam, ada perintah untuk menghargai keyakinan orang lain. Karenanya, kedua hal tersebut sama-sama terpuji. Melakukan yang satu berarti melakukan yang lain.
Soal di atas bisa menjebak, tergantung interpretasi pembuat soal. Apalagi, soal tersebut berupa pilihan ganda, bukan esai yang memungkinkan peserta tes memberikan alasan atas jawabannya. Pada akhirnya saya menjawab "tidak setuju", karena bagi saya keduanya sama terpujinya; tidak melakukan yang satu sama dengan pelanggaran atas yang lain. Karena tes dinilai dengan sistem komputer, jawaban saya bisa saja menghasilkan output yang tidak sesuai dengan nilai yang diharapkan si pemberi tes.
* * *
Negasi yang berderajat ini mengingatkan saya pada fun fact yang sering berseliweran di media sosial. Menurut unggahan-unggahan tersebut, dalam Al-Qur'an, Allah memasangkan hidup dan mati yang saling bertolak belakang, tetapi juga memasangkan "kekayaan" dengan "kecukupan", bukan "kemiskinan". Karena ke-Mahabaik-an-Nya, Allah tidak memberi seseorang kemiskinan. Kalau kita tidak kaya, sesedikit apa pun yang kita miliki, kita bukan "miskin", tapi kita sedang memiliki sesuatu yang "cukup" untuk kebutuhan kita, walaupun kita tidak menyadarinya.
Meskipun ada negasi yang sifatnya gradual ini, perlu juga kita perhatikan bahwa ada kalanya juga sebuah kata hadir dalam kondisi biner alias termasuk oposisi kembar, hanya memiliki dua anggota, sehingga memiliki negasi mutlak.
Contohnya, hidup–mati. Manusia, kalau tidak hidup, berarti mati.
Lainnya?
Jantan–betina.
Laki-laki–perempuan.
No comments