Memberi dan Kembali
Tiga tahun lebih sudah berlalu, akhirnya saya bisa bertemu dengan kedua sahabat saya dalam formasi lengkap. Siapakah mereka? Pembaca setia blog ini pasti tahu, hehe. Inisial mereka adalah "aku" dan "kamu" alias U&I.
Ceritanya, saya ada acara keluarga Ahad lalu di Jakarta. Saya berangkat dari Jogja malam Sabtu, sehingga saya masih berkesempatan jalan-jalan dulu. Saya janjian dengan UmmiL (penulisan dengan huruf L kapital ini spesial buat dia, haha) dan Iip di Lapangan Banteng.
Sebagai orang (yang numpang kerja di) Jogja, saya bawakan oleh-oleh khas Jogja untuk mereka: bakpia. Walaupun hanya bawa dua boks, tas kecil yang saya pakai untuk pertemuan itu sampai tak muat lagi untuk memasukkan barang-barang lainnya yang biasanya ada dalam setiap tas bepergian. Hanya ada sedikit ruang untuk memasukkan dua botol air minum berbeda jenis dan sebungkus biskuit (untuk mengatasi maag yang sering kambuh).
Mengapa tidak membawa satu tas lagi saja?
Duh, membayangkannya saja saya sudah merasa riweuh. Saya lebih suka membebaskan kedua tangan saya dari membawa barang (walau kadang gagal) supaya bisa menggunakannya untuk hal-hal lain, seperti bertumpu pada pegangan tangga atau berpegang pada gantungan bus.
Sebelumnya, saya sudah memesan beberapa bungkus jajanan pada UmmiL: Jamur Lunas alias Jalu, salah satu barang dagangannya. Bayangan saya, ukuran sepaket Jalu itu saat pulang nantinya pas menggantikan ruang yang saat berangkat ditempati bakpia. Jadi, berangkat saya hanya membawa satu tas punggung, pulang pun tetap bisa menggunakan hanya tas punggung tersebut.
Sesampainya di sana, si UmmiL menyerahkan satu tote bag berisi jajanan pesanan saya plus sebuah jajanan lain yang tadinya tidak saya pesan: makaroni goreng, atau dia produksi dengan nama Makgora. Ini memang favorit saya di antara semua jajanan yang dia jual. Homemade!
Belum sempat saya mikir, gimana caranya biar semua itu muat di tas, Iip mengeluarkan dua buah bingkisan berbungkus kertas kado. Satu untuk saya, yang untunglah ukurannya kecil sehingga saya tidak terlalu repot membawanya. Bagian UmmiL jauh lebih besar, berbentuk kotak berukuran kira-kira 50x50x50 cm3. Dia sampai membelalakkan mata melihatnya.
Niat kami sama-sama membebaskan bawaan, ternyata pulang-pulang malah ketambahan bawaan segede gaban. Terutama UmmiL. Hahaha. Gagal, deh, pulang dengan tangan hampa.
Saya jadi teringat permainan dalam sebuah sesi motivasi yang pernah saya ikuti di kampus dulu. Kami diminta mencari tiga buah batu. Setelah masing-masing menggenggam batu, tugas kami adalah, dalam waktu tiga menit, kami harus mengosongkan tangan kami dari batu itu dengan cara membagikannya kepada peserta lain (batu dilarang dibuang atau disembunyikan), tapi kami tidak boleh menolak pemberian batu dari peserta lain.
Selama tiga menit tersebut, kami bergerak ke sana-kemari membagikan batu-batu itu ke teman-teman, tetapi ada saja yang kemudian memberikan kami batu sebagai penggantinya. Pada akhir sesi, pembicara mengatakan, demikianlah hakikat memberi. Memberi, atau berbagi, tidak akan mengurangi kepemilikan kita; justru kita akan mendapatkan yang lain sebagai gantinya. Tidak harus dalam bentuk yang sama, tetapi bisa juga dalam bentuk lain walaupun kita tidak menyadarinya.
Pengalaman hari itu seolah-olah merupakan versi nyata dari permainan tersebut. Kami sama sekali tidak saling memberi tahu kalau kami menyiapkan sesuatu, tak mengharap akan pemberian yang lain pula; jadi sama-sama surprise dengan pemberian satu sama lain.
Ibrah lain yang saya petik hari itu adalah... membawa harta itu berat. Lebih nyaman berkelana dengan tangan kosong, membawa bekal secukupnya saja di punggung. Kalaupun kita memiliki kelebihan harta, bisa jadi ada hak orang lain dalam harta itu yang wajib kita serahkan. Melepaskannya tidak akan membebani, malah akan melegakan diri.
hahahaha asli lho akutuh paling mager bawa barang banyak-banyak, si paling simpel pokoknya wkwk
ReplyDeletesampe pernah tuh ke Bali cuma bawa 1 koper aja, buat 2 dewasa 2 bayi
Kopernya sendiri segede gaban? Wkwkwk
Delete