"Sex by Consent" dalam Kacamata Telenovela "Amigos X Siempre"
Salah satu tema nostalgia anak-anak 90-an, terutama yang cewek, adalah berbagai telenovela yang tayang di masa itu. Termasuk saya, haha. Di antara yang saya tonton adalah Amigos X Siempre, yang pernah tayang kalau enggak salah pas saya kelas 4 SD (saya ingatnya waktu itu pas ekskul dumband, anak-anak saling berbagi not angka soundtrack-nya dan memainkannya, sedangkan ekskul drumband reguler cuma berlangsung pas saya kelas 4).
Dulu, sih, enggak terlalu ngerti ceritanya gimana. Nonton cuma di TV, enggak ada siaran ulang (kecuali mungkin setelah beberapa bulan diputar ulang), enggak bisa di-rewind, enggak bisa pula ditonton sewaktu-waktu. Ketinggalan sehari, wasalam. Paling banter, cuma paham garis besar plotnya, tokoh siapa berjodoh sama siapa, tokoh mana yang antagonis... sebatas itu doang.
Nah, pas udah berkepala tiga ini, barulah saya nemu lagi telenovela itu di YouTube. Selain mengisi waktu, saya sendiri penasaran, kenapa sih cerita ini dulu populer? Kenapa dulu saya bisa suka cerita ini? Wkwkwk.
Saat ini, saya sendiri belum nonton sampai akhir. Tapi ada satu adegan yang bikin saya mikir keras ketika membandingkannya dengan realitas saat ini.
Ceritanya, di kelas 6 putri sekolah Vidal, bakal ada lomba pemandu sorak. Salah seorang siswanya, Patricia, merengek pada ibunya, Claudia, supaya membelikannya seragam pemandu sorak yang harganya di luar kemampuan Claudia yang single parent dan bekerja sebagai pegawai di sekolah itu.
Claudia mendatangi Francisco, salah satu petinggi sekolah. Rupa-rupanya, Fransisco ini ayah biologis Patricia, karena dulu Fransisco dan Claudia pernah tidur bersama saat berpacaran (Claudia bersedia karena dijanjikan akan dinikahi), tetapi Fransisco kemudian meninggalkan Claudia untuk menikah dengan putri pemilik sekolah Vidal. Claudia berharap, Fransisco dapat membantu kebutuhan putrinya itu, karena toh selama ini Claudia tidak pernah menuntut apa-apa padanya.
Sayangnya, Fransisco menolak mentah-mentah permintaan Claudia untuk membiayai kebutuhan Patricia tersebut, bahkan mempermalukan Patricia dengan mengajak murid-murid menggalang dana untuknya (Patricia murka karena teman-temannya jadi tahu betapa miskinnya dia). Claudia mengonfrontasi Fransisco dan mengancamnya akan membeberkan masa lalu mereka. Namun, Fransisco balik mengancam Claudia, kalau sampai hubungan masa lalu mereka tersebar, rumah yang ditempati Claudia bakal disita, Claudia juga akan dipecat dari sekolah Vidal.
Kalau melihat dialog (dari subtitle) pada adegan tersebut, mereka melakukan hubungan seks sebelum nikah itu "suka-sama-suka", atau kalau dalam bahasa sekarang, "by consent". Tanpa paksaan, bukan kasus perkosaan pula. Dalam hubungan keduanya, siapa yang akhirnya rugi?
Dalam pembahasan RUU soal kekerasan seksual (saya kurang update, yang benar RUUPKS atau RUU TPKS, ya?) selama beberapa lama ini, yang jadi perdebatan adalah semangat yang dibawa dalam penyusunan RUU tersebut. Yang jadi permasalahan adalah, kata "kekerasan", bagi sebagian orang, bermakna membatasi bahwa yang bakal kena pidana hanyalah jika hubungan seksual dilakukan dengan unsur kekerasan atau paksaan (yang berarti, suami enggak boleh memaksa istri), sedangkan di sisi lain, hubungan yang dilakukan atas dasar sukarela (baik itu suami-istri atau bukan) enggak akan terancam hukum pidana.
Lucunya, para penolak ini dicap sebagai orang-orang yang ingin melegalkan kekerasan seksual, padahal enggak seperti itu. Yang para penolak ini inginkan sebenarnya adalah hukuman untuk tindak kejahatan seksual, bukan "sekadar" kekerasan seksual. Sekilas mirip, tapi beda. Kejahatan itu, mau pakai kekerasan atau enggak, mau dilandasi unsur sukarela atau enggak, tetaplah kejahatan.
Berkaca dari plot Amigos X Siempre di atas, bayangkan saja... sewaktu berbuat, si perempuan ini consent, lho. Setuju. Enggak diperkosa. Sukarela. Enggak ada kekerasan. Dalih si perempuan: cinta dan akan menikah. Sama calon sendiri, kenapa enggak?
Siapa yang bisa menjamin, kalau janji pernikahan itu omong kosong?
Dinikahi enggak, ditanggung seluruh nafkahnya juga enggak, anak yang dihasilkan dari perbuatan itu juga enggak diurusi. Si laki-laki dengan entengnya kabur demi perempuan lain yang lebih kaya dan berstatus terhormat. Si perempuan sukarela berbuat, si perempuan sudah menanggung akibatnya. Tapi si laki-laki yang katanya juga sama-sama suka ini?
Si perempuan mau menuntut pertanggungjawaban secara hukum? Terus, apa buktinya? Apa landasannya?
Jadi, ya, hubungan seks di luar nikah itu, mau by consent atau enggak, sepantasnya dilarang secara hukum. Kalau ini dibiarkan, yang rugi (lagi-lagi) perempuan. Bukan cuma soal adanya kekerasan atau enggak yang harusnya digarisbawahi. Tuh, cerita di atas adalah contoh hubungan yang pas berbuat itu enggak ada kekerasan-kekerasannya, lho.
Apakah itu hanya cerita telenovela? Bisa jadi, tapi cerita pun merupakan gambaran realitas. Banyak perempuan yang terperdaya sehingga bersedia melakukannya, tetapi ketika terjadi sesuatu setelahnya, dia kesulitan menuntut pihak lelaki untuk bertanggung jawab. Di Twitter, banyak keluh kesah semacam ini, yang kemudian meminta saran kepada warga Twitter apa yang harus dilakukan selanjutnya.
(Hadeh! Elu yang berbuat secara sukarela, warga Twitter yang suruh cari solusi. Diingatkan malah balik ngatain sok suci, pas udah kejadian diminta jangan menghujat. My body my choice, katanya, tapi giliran ada nyawa di dalam perutnya, main gugurin aja; elu enggak menghargai "the choice of the fetus"?)
Masih bisa bilang kalau hubungan seks di luar nikah itu hak yang orang lain atau negara tidak berhak ngurusin?
Wah iya, ini telenovela hits banget di kalangan anak-anak zaman itu
ReplyDeletePas udah gede nonton, temanya termasuk "dewasa" sebenernya~
Delete