Supaya Pelajaran Sejarah Lebih Menarik
Saya rasa saya bukan satu-satunya orang yang memiliki perasaan yang kontradiktif terhadap sejarah; suka sejarah, tapi membenci pelajarannya di sekolah! Hal yang demikian terjadi, saya rasa, terutama karena kita hanya disuruh menghapalkan peristiwa-peristiwa yang terjadi, lengkap dengan tanggal, nama-nama tokoh yang terlibat dan tempat kejadian, tanpa diajak menelaah mengapa tanggal, nama dan tempat itu penting dalam sejarah. (Akmal Sjafril, 2021)
Cuplikan caption Instagram Ustaz Akmal ini mengingatkan saya akan satu pengalaman 13 tahun lalu.
Di SMA, saya masuk ke jurusan IPA. Anehnya, guru Sejarah mempercayakan pada saya untuk mewakili sekolah dalam Kompetisi Sejarah yang diadakan oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes). Saya lupa, rekan saya sesama delegasi lainnya siapa saja, tapi seingat saya, kalau bukan sesama anak IPA (kakak kelas) atau siswa kelas satu yang belum memilih jurusan.
Hanya punya sekitar dua hari untuk persiapan, saya pinjam buku Sejarah milik teman saya yang jurusan IPS. Saat itu baru saya menyadari, betapa materi Sejarah di kelas IPS berbeda. Walaupun kelas IPA juga mendapat pelajaran Sejarah, materinya lebih singkat daripada anak IPS. Seandainnya ada waktu lebih lama untuk belajar, tentu dengan senang hati saya lahap buku Sejarah itu setiap hari.
Tiba di hari perlombaan. Sampai di tempat acara, saya masih blank soal sistem kompetisinya. Pikir saya, seperti olimpiade mapel pada umumnya: mengerjakan soal, dikumpulkan, lalu diumumkan pemenangnya. Soal di hadapan saya berupa pilihan ganda. Sekenanya saya kerjakan, tanpa ambisi apa pun selain berusaha yang terbaik.
Ketika waktu habis dan keluar ruangan, saya baru tahu, setelah ini akan diambil tiga peserta terbaik untuk maju ke babak final. Saya kaget ketika diumumkan, karena ada nilai yang sama pada beberapa peserta, maka diadakan babak tambahan, dan saya termasuk dari beberapa peserta itu. Soal babak ini berupa esai. Saya kerjakan seolah ini pelajaran Bahasa Indonesia: mengarang bebas!
Lagi-lagi saya terkejut ketika nama saya dinyatakan lolos. Terlebih, sistem di babak ini sama sekali tak terduga. Ketiga finalis mengambil kertas undian berisi sebuah pertanyaan, kemudian diberi kesempatan menjawab pertanyaan itu selama beberapa menit tentang topik itu, lalu tanya jawab oleh sejumlah panelis. Tak main-main, panelisnya adalah dosen Jurusan Sejarah Unnes! Tiap peserta dapat dua kali kesempatan secara bergantian.
Kejutan tak berhenti sampai di situ. Saya pikir, pertanyaan yang keluar tak jauh-jauh dari alur peristiwa sejarah sesuai kurikulum SMA. Tak tahunya, pertanyaan itu berupa studi kasus yang tak berkaitan dengan peristiwa sejarah itu sendiri, melainkan argumen metodologis soal pelestarian sejarah.
Saya lupa tepatnya, apa pertanyaan yang saya ambil. Kalau tidak salah, berupa bagaimana pandangan saya terkait pengelolaan benda-benda peninggalan sejarah. Sungguh di luar bayangan terliar sekalipun. Saya hanya mengandalkan karakter saya yang suka ngeyel, hehe.... terutama ketika sesi pertanyaan. Masa bodoh dengan logika yang saya sampaikan bisa diterima atau tidak, yang penting kelihatan pede, haha.... Dua kali mengambil undian, dua kali pula pertanyaan yang sama jauhnya dari perkiraan.
Satu pertanyaan yang diambil oleh peserta lain membuat saya selalu teringat sampai sekarang. Kurang lebih pertanyaannya: bagaimana cara mengembangkan pelajaran Sejarah di kalangan siswa. Saya masih ingat, karena saya geregetan dengan bagaimana cara si peserta ini menjawab: singkat, padat, namun tidak jelas. Itu pertanyaan paling mudah dari 6 pertanyaan yang muncul, namun dia seolah tidak tahu apa yang hendak dibicarakan.
Kenapa bukan saya yang dapat pertanyaan itu? Saya ingin sekali menjelaskan ide-ide yang berkelindan di kepala ini panjang lebar supaya didengar para juri, juga penonton yang di antaranya adalah guru Sejarah.
Daripada cuma mbatin selama belasan tahun, izinkan saya menjawabnya di sini, ya. Jawaban yang kurang lebih sama dengan kutipan Ustaz Akmal di atas.
* * *
Sejatinya, saya sangat menyenangi pelajaran Sejarah. Buku Sejarah kelas 1 SMP menjadi salah satu buku pelajaran favorit saya, khususnya bab-bab pertengahan yang mengisahkan tentang beberapa kerajaan di nusantara. Cerita tentang Ken Arok (disertakan pula legendanya yang berhubungan dengan Keris Mpu Gandring), Raden Wijaya (dan intriknya dengan pasukan Mongol), penyebaran agama Islam di nusantara.... Salah satu sebab saya suka Sejarah adalah karena pelajaran ini punya alur. Ada jalan ceritanya. Jadi, membaca buku pelajaran seolah membaca novel saja.
Oh, ada juga bab yang saya paling tidak sukai: seputar manusia-manusia purba. Beberapa tingkat di atas itu, masih oke tapi tetap di bawah cerita kejaraan: sejarah Indonesia (setelah merdeka). Kalau dibuat garis waktu, masa "keemasan" kesukaan saya soal Sejarah makin lama makin memudar seiring berjalannya alur cerita.
Saya kira penyebabnya, kalau di zaman kerajaan, hampir tidak ada tanggal pasti yang harus dihafal. Pelajaran berfokus pada rentetan peristiwa. Penanda waktu, paling banter tahun. Nama tokoh, tak lebih sebagai lakon yang menambah ketertarikan. Semakin ke sini, semakin pasti waktu yang tercatat, semakin detail pula tanggal dan nama tokoh bertebaran di halaman-halaman buku, semakin banyak pula pertanyaan seputar ini di soal ujian.
Sebagian orang yang saya temui merasa Sejarah membosankan, ya, karena alassan ini. Coba guru-guru Sejarah lebih kreatif dalam mengajar. Misal, dengan menarasikan berbagai peristiwa itu, sehingga siswa serasa sedang dibacakan dongeng. Tak perlu buka buku, dengarkan dulu guru bercerita. Caranya mendongeng juga diselingi dialog, tidak sekadar membacakan, "Tokoh A melakukan ini, lalu begini. Setelah itu, blabla blabla bla." Guru Sejarah tidak hanya ilmuwan, tapi juga sastrawan.
Ulangan harian pun harus berbeda dengan ujian semesteran. Karena sifatnya kurang lebih memastikan siswa memahami materi, bukan menguji pengetahuan siswa, ulangan bisa dibuat lebih seru dengan bermain peran, misalnya. Kalau bagus, bisa jadi proyek akhir tahun dan dipentaskan saat pentas seni tahunan sekolah.
Bisa juga mengajak siswa sedikit mengkhayal: kalau kamu jadi Pangeran Diponegoro, strategi apa yang kamu pilih untuk mengalahkan Belanda? Dalam buku teks, ini langkah-langkah Pangeran Diponegoro, dan hasilnya dia ditangkap. Anggap kamu sedang bikin fan-fiction, buat alternate universe-nya. Lisan saja, supaya siswa juga belajar bicara di depan umum dan lebih bebas mengungkapkan idenya dengan bahasa sehari-hari, didengar teman-temannya, saling mengomentari; lebih seru daripada esai yang menambah beban siswa karena harus menuangkannya dalam bahasa baku pula, dan hanya dinikmati si siswa sendiri dan gurunya.
Soal tanggal dan tempat, jadikan itu tak lebih sebagai latar saja. Bukannya saya menganggap itu tidak penting, tapi kalau kita sudah paham betul peristiwanya, paham keistimewaan tanggal itu, otomatis kita ingat. Tanggal itu tak lebih dari angka, tapi kalau itu jadi anniversary pernikahan, misalnya, kan kita jadi hafal terus sepanjang waktu (eh!). Mungkin malah kita sampai bisa mengingat, tanggal berapa ketemu pertama kali, tanggal berapa lamaran... ya, semua tanggal itu tercatat dalam memori karena ada peristiwa spesial yang mengiringinya.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah ketidakpahaman siswa kenapa harus belajar Sejarah. Dari SD sampai SMA, seingat saya, buku Sejarah isinya hampir mirip-mirip. Sama-sama bercerita sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan Islam, kedatangan penjajah, Indonesia merdeka, peristiwa pasca-kemerdekaan. Bedanya hanya di detail-detail yang semakin banyak di setiap kenaikan jenjang, tapi intinya sama saja. Evaluasi pembelajaran pun sama saja, masih seputar ingatan tentang rentetan kisah.
Bapak saya pernah berkata, harusnya ada target pembelajaran yang beda di tiap jenjangnya. Misal, SD fokus soal alur, SMP mulai melihat sebab-akibat terjadinya suatu peristiwa dan keterkaitannya satu sama lain, lalu SMA harus lebih dalam lagi: pelajaran apa yang bisa diambil dari peristiwa sejarah tersebut.
Kenapa, sih, kita harus tahu soal teori masuknya Islam ke Indonesia? Supaya kita paham kultur masyarakat, bagaimana kemudian kita bisa mendakwahkan ajaran Islam yang sesuai pemahaman masyarakat sekitar sebagaimana ijtihad-ijtihad para Wali Songo.
Kenapa, sih, pemberontakan G30S/PKI harus masuk kurikulum? Supaya kita waspada bahaya laten komunis yang tidak sesuai dengan Pancasila, yang dengan itu kita bisa mulai merancang langkah-langkah untuk mempertahankan NKRI dari penyusupan ideologi ini.
Nah, untuk mahasiswa jurusan non-Sejarah atau masyarakat umum, saat mempelajari Sejarah bisa fokus pada metode-metode yang pernah terjadi dan bagaimana metode-metode tersebut bisa diadopsi atau dikoreksi untuk membangun masyarakat modern. Misalnya, ketika membaca shirah shahabat soal suksesi kepemimpinan setelah Rasulullah wafat, ketika kaum Muhajirin dan Anshar muncul ashabiyah-nya terhadap golongan masing-masing terkait siapa yang paling berhak memimpin, kita jadi tahu risiko perpecahan yang mengancam, karena itu perlu kerendahan hati seperti Abu Bakar yang memberi pilihan kepada umat antara Umar atau Abu Ubaidah yang memimpin, namun justru pertimbangan Umar yang "menang" dengan langsung membaiat Abu Bakar.
Jadi, tiap jenjang pendidikan ada tantangan yang semakin besar, yang membuat kita memahami pentingnya ilmu sejarah. Kalau sudah tahu untuk apa, itu bisa meningkatkan minat untuk mempelajarinya. Tidak hanya bagi siswa, tapi juga kita masyarakat secara luas.
Target jangka panjangnya, sejarah bukan lagi soal mengingat masa lalu, namun menjadikannya pelajaran untuk melangkah di masa depan. Bukankah sepertiga isi Al-Qur'an adalah kisah, supaya jadi pelajaran li qaumi yatafakkarun, bagi kaum yang berpikir?
* * *
Kompetisi Sejarah akhirnya ditutup dengan kejutan terbesar: saya jadi juara 1. Kalau dipikir-pikir, mungkin bukan jawaban saya yang berhasil meyakinkan dewan juri, tapi tak lebih dari cara penyampaian yang sok pede, sok yakin dengan jawaban sendiri. Plus, kedua peserta lain menjawab dengan to the point, sedangkan saya sedikit berbasa-basi, berbekal teori debat berbahasa Inggris yang saya ketahui.
FYI saja, sebagai anggota tim debat sekolah, dan selalu dipilih sebagai pembicara pertama, saya jadi terbiasa mengawali orasi dengan latar belakang, baru argumen. (Ketika menuliskan ini, baru terlintas di benak saya, jangan-jangan inilah alasan guru Sejarah memilih saya maju. Mungkin beliau sudah tahu mekanisme kompetisi, sehingga memilih anggota tim debat yang dianggap bisa melewati babak final ini.)
Hadiahnya uang pembinaan satu juta rupiah, nominal uang terbesar yang saya miliki bahkan sampai kuliah. Beberapa pekan berikutnya, uang tersebut saya jadikan uang saku saat studi wisata sekolah ke Bali sehingga tak perlu meminta uang saku dari orang tua.
No comments