Melawan Corona: Hingga Akhir Hayat
Sampai di usianya yang ke-56, sejauh ini Bapak tampak sehat-sehat saja. Tidak ada keluhan penyakit seperti gula darah, kolestrol, apalagi penyakit jantung bawaan.
Ketika pandemi Covid-19 mulai menyebar, Bapak termasuk anggota keluarga yang paling teliti soal protokol kesehatan. Keluar rumah pakai masker, ditambah tutup kepala yang seperti ninja atau maling itu. Tak lupa hand sanitizer selalu tersedia di saku. Sampai rumah, langsung mandi dan pakai pakaian bersih. Tiap pagi berjemur. Walau selama work from home ada tugas piket di sekolah tempatnya mengajar, Bapak sering bolos alias tetap di rumah saja. Keluar kota sama sekali dihindari.
Memasuki masa yang disebut "new normal" (walaupun aku juga nggak yakin, practically "new"-nya di mana selain lebih banyak orang memakai masker), sekolah mulai menerapkan kebijakan yang membuat Bapak lebih sering berangkat. Kalau tidak salah ingat, kebijakannya waktu itu beberapa hari masuk, beberapa hari kerja dari rumah.
Dengan berbagai fatwa yang dikeluarkan, Bapak juga mulai berani ke masjid. Tentu dengan mengikuti protokol.
Setelah semua usaha untuk menghindari virus Corona itu, tidak disangka... kami justru tidak sadar ketika virus itu menyerang keluarga kami. Serangan utamanya tertuju pada Bapak.
* * *
Senin, 6 Juli 2020
Sekitar pukul 5 sore, Bapak mengirim pesan, "Siapkan air hangat. Bapak nekat hujan-hujanan. Sekitar 30 menit lagi sampai."
Reaksiku hanya terkejut, tidak menyangka Bapak akan senekat itu. Apalagi, jas hujannya tampak tertinggal di rumah. Tidak terpikir untuk mencegahnya, apalagi katanya 30 menit lagi sampai, itu artinya sudah dalam perjalanan pulang. Aku hanya buru-buru menyiapkan air hangat.
* * *
Seminggu kemudian, Bapak mulai merasa tidak enak badan. Bukan berita baru, sebetulnya. Belakangan Bapak memang beberapa kali merasa pusing, lalu minta dibelikan obat pereda sakit kepala, dan sehari-dua hari kemudian sembuh.
Ketika dua-tiga hari meriangnya tak kunjung reda, Bapak menemui dokter keluarga. Naik motor sendiri. Aku hanya berpesan hati-hati, karena Bapak merasa masih cukup kuat mengendarai motor dan menolak diantar. Lebih-lebih di masa pandemi seperti ini, rasanya malah riskan kalau naik ojek atau taksi online.
Besoknya, Bapak kembali ke dokter. Lupa minta surat keterangan sakit, katanya, untuk izin tidak berangkat ke sekolah. Aku mengusulkan agar Bapak diantar adikku, tapi Bapak bersikeras berangkat sendiri.
* * *
Sabtu, 18 Juli 2020
Obat dari dokter sudah habis, tapi Bapak belum membaik. Malah rasanya, meriangnya semakin parah, batuknya meningkat. Oh iya, beberapa tahun terakhir Bapak memang sering batuk-batuk. Setiap kali periksa ke dokter, katanya hanya radang tenggorokan. Sempat tidak percaya, aku menanyai, gatalnya di tenggorokan atau di dada, dan Bapak bilang di tenggorokan. Mungkin memang hanya radang, batinku.
Kali ini, aku mengusulkan ganti dokter. Siapa tahu ada second opinion atau obatnya lebih cocok. Lebih lemas daripada sebelumnya, Bapak mengizinkan aku mengantar naik taksi online.
Dokter yang ini mendiagnosis Bapak sakit tifus dan bronkitis. Sedikit banyak kami merasa lega karena tidak divonis covid. Bronkitis, menurut yang kubaca, memang tidak bisa disembuhkan, tapi masih bisa diatasi. Aku pun punya penyakit bronkitis, yang kambuh setiap kali kecapekan berupa batuk berminggu-minggu, tapi kemudian mereda sendiri. Dokter juga bilang, Rabu berikutnya Bapak diminta kembali untuk kontrol.
Sampai di rumah, Bapak sepertinya lebih ceria. Bapak bilang ingin makan sate, maka adikku pun keluar membelinya di pertigaan dekat rumah.
* * *
Belum sampai Rabu, Bapak bertambah lemas. Panasnya mereda, namun batuknya tambah parah. Makan hanya mau sedikit. Paling-paling minta dibuatkan minum hangat, entah dengan madu atau gula aren.
Sempat ada usulan, Bapak ke dokter lagi, namun karena obatnya masih ada, dan dokter juga bilang kontrol lagi Rabu, maka kami menunggu dulu untuk melihat siapa tahu obatnya sedang bekerja mengeluarkan dahak di paru-parunya. Mungkin nanti kalau obatnya habis, baru terlihat perbaikannya.
Di tengah aktivitas kerja dari rumah, seringkali aku menengok ke kamar Bapak, memastikan dada Bapak masih naik turun, walaupun tampak berat.
* * *
Rabu, 22 Juli 2020
Semalam Bapak berniat akan ke dokter pagi. Tetapi ketika, usai Subuh, aku mengingatkannya untuk siap-siap, Bapak tampak enggan. Masih lemas sekali rasanya. Bapak bilang sore saja ke dokter.
Sayangnya, Bapak tetap menolak makan lebih dari 2 sendok. Bahkan untuk minum pun, baru beberapa teguk, Bapak sudah batuk-batuk seperti tersedak. Aku dan Ibu memaksa Bapak supaya ke dokter pagi itu juga, kali ini kembali ke dokter keluarga yang lokasinya dekat dari rumah.
Dokter memberikan obat, tetapi menyuruh Bapak ke rumah sakit kalau sore masih demam. Rumah sakit yang disarankan adalah Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), yang merupakan rumah sakit rujukan Covid. Kami tentu saja berharap Bapak tidak sampai ke rumah sakit, apalagi Bapak juga tidak ada tanda-tanda demam. Bahkan suhu tubuhnya cenderung normal, hanya sedikit berkeringat.
Seharian itu Bapak masih lemas, masih menolak makan. Mual, katanya. Hanya beberapa iris buah pir yang bisa masuk, serta sedikit minum. Minum pun kami sediakan sedotan, karena untuk mengubah posisi saja, Bapak bisa batuk-batuk sampai lemas.
(Saat itu, sebenarnya Bapak sudah merasa sesak napas, namun beliau berusaha menyembunyikannya karena khawatir dibawa ke RSND, takut kalau-kalau ternyata terkena Covid. Fakta ini pun baru aku dan Ibu tahu beberapa pekan kemudian! Maka sampai saat itu, sama sekali tak terpikir oleh kami kemungkinan Bapak kena Covid, karena demam pun sudah reda, sehingga tidak memberikan ramuan seperti jahe, vitamin C, dan sebagainya.)
Melihat kondisi Bapak yang demikian, aku dan Ibu mau tak mau meminta Bapak ke rumah sakit saja. Tak lain hanya agar Bapak mendapatkan asupan makanan dan gizi, entah itu melalui infus, suntikan, atau diberikan obat pengurang mual sehingga bisa makan. Bapak akhirnya setuju.
Supaya Bapak tidak tambah cemas, kami memilih RS Hermina Banyumanik, dengan harapan mendapatkan pelayanan baik (tidak diisolasi), dan lokasinya pun dekat untuk kami kunjungi. Aku bahkan sudah membekali diri dengan laptop untuk bekerja di ruang rawat Bapak.
Aku dan Ibu mengantar Bapak, berangkat sekitar pukul 5 sore naik taksi online. Bapak sedikit mengulur waktu, berkata terlalu lemas untuk berpindah. Tapi aku memaksanya agar menguatkan diri sebentar saja karena mobil sudah datang.
Sesampainya di IGD, perawat jaga menyuruhku mengurus administrasi sementara Bapak diperiksa dengan ditemani Ibu.
Kembali ke IGD untuk mengantar berkas pendaftaran, aku melihat sebuah jendela kaca. Jendela itu menunjukkan ruangan kecil, di dalamnya ada Bapak sedang berbaring ditemani Ibu. Kupikir itu sekadar ruang rawat biasa di IGD. Aku bergegas memberi isyarat pada Ibu, lantas mencari jalan masuk ke dalamnya.
Ketika bertemu Ibu, seorang perawat malah menyuruh aku saja yang masuk menjagai Bapak. Alasannya, karena aku lebih muda (diharapkan imunnya lebih kuat). Ibu pun tampak sedikit keberatan, inginnya berdua bisa menemani, atau setidaknya tetap Ibu saja yang di dalam. Tapi perawat bersikeras agar Ibu di luar.
Aku dan Ibu bertukar pandang sekilas dan menuruti kata perawat: bertukar tempat. Dalam kondisi demikian, aku tak ingin mengatakan, bahwa aku bisa jadi lebih rawan karena aku pun punya penyakit bronkitis!
Di ruangan itu, yang ternyata merupakan ruang isolasi, Bapak dipasangi beberapa alat untuk mengukur tanda-tanda vitalnya, yang tersaji di monitor. Ada juga beberapa pemeriksaan lain, seperti rapid test untuk Covid, juga rontgen.
Perawat memberikan makanan, tetapi memintaku yang menyuapi Bapak. Menurut perawat, karena aku "terlanjur" menemani Bapak, jadi aku sekalian yang harus mengurusi segala sesuatu yang terjadi di dalam (misal menyuapi), kecuali dalam kondisi darurat. Sebab perawat harus pakai APD lengkap untuk bisa masuk.
Tapi Bapak masih enggan makan. Hanya satu-dua suap yang bisa masuk. Bapak sebetulnya ingin buah, pir kalau ada, tapi tidak tersedia. Yang ada hanya puding, tapi Bapak tidak berminat karena tidak mengandung cukup air baginya.
Sesekali, aku dipanggil untuk dimintai keterangan dan diberikan penjelasan tentang kondisi Bapak. Beberapa yang aku ingat disampaikan dokter adalah, hasil rapid test non-reaktif, tapi tanda-tanda lain tidak mendukung itu. Napas Bapak terlalu cepat, saturasi oksigen jauh di bawah normal dan baru naik setelah diberi oksigen dalam jumlah sangat besar, serta kondisi paru-paru Bapak yang ternyata terkena pneumonia parah, bebercak di area bawah. Swab baru akan dilakukan keesokan harinya.
Beberapa jam menemani Bapak di sana, aku kehabisan akal mau bicara apa pada Bapak. Akhirnya aku membiarkan Bapak istirahat, dan hanya membacakan zikir ma'tsurat dan tilawah di sampingnya. Ibu sesekali menengok dari kaca, tetapi karena ruangan itu kedap suara, kami hanya bisa berkomunikasi via WhatsApp.
Sekitar pukul 11 malam, perawat kembali memanggilku keluar, mengabarkan bahwa satu jam lagi ruang perawatan siap untuk ditempati Bapak. Ruang itu katanya sedang disterilkan. Yang membuatku sedih (pun Ibu dan Bapak, aku yakin), itu bukan ruang rawat biasa, melainkan ruang isolasi. Walaupun rapid non-reaktif, tapi gejala bapak membuatnya menjadi "suspect", itu yang sempat kudengar dari obrolan seorang perawat di jaringan telepon lokal.
Rasanya nggak ingin memikirkan terlalu jauh, tapi tetap saja... saat itu aku hanya takut kehilangan momentum. Maka dengan berat hati, aku berkata, "Pak, habis ini Bapak akan dibawa ke ruang isolasi. Entah kapan lagi bisa ketemu Bapak, jadi aku minta maaf, ya, Pak?"
"Bapak juga minta maaf, ya, Nak," ucap Bapak pelan dari balik masker oksigennya.
"Bapak ridha kan, sama Ibu? Sama aku? Sama Maman, Caca?"
Ya Allah, tangisku nyaris pecah ketika menanyakan itu. Aku berusaha kuat supaya Bapak tidak kepikiran, tapi entahlah... mungkin suaraku bergetar atau ada setitik air di mataku.
"Bapak ridha..."
Ya Rabb, dua kata itu begitu meringankan hatiku saat itu. Kalau tidak terhalang pembatas tempat tidur dan berbagai alat yang menempeli Bapak, ingin rasanya aku memeluk Bapak saat itu juga.
Tengah malam, kamar isolasi siap. Aku dan Ibu mengikuti sampai ke semacam kantor depan ruang isolasi di lantai 2. Selanjutnya, kami sudah tidak boleh masuk. Perawat mengizinkan kami menitipkan beberapa keperluan Bapak semisal HP, jam tangan, kaca mata, dan beberapa potong pakaian. Perawat juga meminta nomor telepon Ibu supaya bisa menghubungi jika ada perkembangan apa pun.
Aku dan Ibu pulang setelah itu. Selain tidak ada tempat untuk tidur penunggu pasien (toh kami juga tidak boleh masuk), takutnya kalau kami kelelahan justru akan menurunkan daya tahan tubuh. Besok lagi saja kami bisa berkunjung saat fisik sudah lebih bugar.
* * *
Kamis, 23 Juli 2020
Pagi-pagi, Bapak sudah update status WhatsApp, menunjukkan gambar dirinya terbaring dengan masker oksigen menutup hidungnya. Caption-nya berisi harapan agar hasil swabnya negatif. Aku membalas dengan sedikit ledekan, dan permohonan agar Bapak tidak berputus asa dari rahmat Allah. Pun sedikit hiburan bahwa aku dan Ibu akan ke RS untuk membawakan beberapa jenis buah, makanan, dan obat-obatan herbal yang Bapak suka.
Update status Bapak di WhatsApp (masih misteri: Bapak foto selfi atau difotokan perawat?) |
Tetap saja, aku dan Ibu hanya bisa menitipkan semua itu melalui perawat. Aku memberitahukan kedatangan kami pada Bapak via chat. Sedikit melegakan kala Bapak bercerita tentang menu makanan dari RS, dan bagaimana Bapak berhasil menghabiskannya walaupun perlahan dan dengan perjuangan.
Sisa hari itu, kami sekeluarga terus memantau Bapak lewat aktivitasnya di WA. Melihat statusnya lebih sering online, kami sedikit terhibur. Itu berarti Bapak cukup sehat dan kuat untuk berinteraksi dengan orang lain.
Hari itu, ART kami datang. Biasanya dia hanya bertugas di akhir pekan, namun dia berdalih datang lebih awal supaya bisa pekan depan merayakan Idul Adha di rumah. Alhamdulillah, pekerjaan rumah kami lumayan terbantu dengan kehadirannya.
* * *
Jumat, 24 Juli 2020
Matahari baru mulai beranjak ketika Ibu berkata panik, "Kok Ibu deg-degan ya? Bapak di-WA belum balas."
Aku buru-buru membuka HP-ku. Chat pukul 5 tadi, mengingatkan Bapak untuk shalat Subuh, juga belum centang biru, meski sudah terkirim. Walaupun jadi cemas karena kata-kata Ibu, aku berusaha menenangkan, "Mungkin belum sempat buka WA, atau baterainya habis. Mungkin Bapak mau nge-charge nggak bisa karena colokannya jauh dari tempat tidur. Kita ke RS saja sekarang, bilang perawat untuk memastikan HP Bapak di-charge."
Perawat yang Ibu temui di RS tidak mengabarkan berita buruk, hanya bahwa Bapak sedang tidur. Keluarga besar menenangkan kami, mungkin Bapak sedang "melunasi" tidurnya kemarin yang kurang nyenyak. Kami hanya bisa menitipkan pesan lewat perawat agar selalu mengingatkan Bapak jika tiba waktunya shalat.
* * *
Sabtu, 25 Juli 2020
Seperti biasa, aku dan Ibu kembali ke RS pagi-pagi. Dokter membawa kabar buruk.
Bapak positif corona.
Dokter memberi tahu, dengan kondisi yang tidak kunjung membaik setelah diberi berbagai obat, ada kemungkinan suatu ketika Bapak akan gagal napas. RS Hermina khawatir tidak memiliki alat untuk menolong dalam kondisi demikian. Karenanya, Bapak harus dirujuk. Pilihannya adalah RS Kariadi, RS Tugurejo, atau RS Wongsonegoro, yang ketiganya memiliki fasilitas yang cukup untuk pasien Covid. Sementara RS Hermina mencari menghubungi RS rujukan untuk menanyakan ketersediaan ICU isolasi, aku dan Ibu dipersilakan pulang.
Sampai sore, admin Hermina memberi tahu bahwa semua rumah sakit rujukan (termasuk RSND seperti yang kami tanyakan) menyatakan ruangan penuh atau tidak menjawab. Salah seorang kerabat yang dokter mengusulkan rujukan ke RS Solo kalau memang RS Semarang penuh semua, tapi pihak Hermina mengkhawatirkan kalau kondisi Bapak memburuk dalam perjalanan sejauh itu.
Meskipun demikian, ketika tahu akan dirujuk, Bapak mulai panik. Di grup keluarga besar, Bapak menyatakan ketakutannya kalau harus dirujuk ke Kariadi. Sejujurnya, aku dan Ibu tak kalah cemasnya dengan Bapak sendiri, tapi kami bisa apa? Seandainya ada rumah sakit swasta yang punya fasilitas memadai, kami tentu akan memilihnya agar Bapak lebih tenang.
Pukul 9 malam, RS Hermina menghubungi Ibu. Kariadi siap menerima, katanya. Keluarga diminta mengikuti ke Kariadi untuk mengurus administrasi.
Di Hermina, aku dan Ibu masih harus menunggu beberapa saat karena ternyata ambulans masih dipakai untuk mengantar pasien lain. Ibu bertanya tanpa harapan kepada perawat, "Bisakah saya menemui Bapak sebelum dipindahkan? Pakai APD lengkap pun tidak apa-apa."
Jawaban perawat sudah diduga: tidak boleh.
Aku dan Ibu memanfaatkan masa penantian ini dengan berbalas chat dengan Bapak. Ibu terus berusaha membesarkan hati Bapak, "Ini jihad Bapak. Walaupun berat, Bapak harus terus semangat melawan penyakit, karena di situlah Allah akan menganugerahkan pahala berlimpah."
"Tapi di Karidai nanti, Ibu dan Lila jadi nggak bisa sering-sering datang."
"Insyaallah kami akan datang setiap hari, kalau Bapak menginginkan. Kami akan membawakan apa pun yang Bapak suka."
Kami juga meyakinkan Bapak, di Kariadi, ada beberapa saudara dan kenalan dokter atau perawat yang bisa dimintai bantuan untuk mengawasi Bapak dan memberikannya pelayanan terbaik.
Aku menjanjikan Bapak untuk mengirim voice note tilawah kepada Bapak selama di Kariadi nanti, agar Bapak bisa mendengarkan di dalam ICU isolasi. Yang paling kuinginkan saat itu memang berada di sampingnya, agar bisa memperdengarkan bacaan Qur'an kepadanya, atau zikir-zikir lainnya.
* * *
Ahad, 26 Juli 2020
Tengah malam, ambulans baru siap. Aku memesan taksi online, lalu meminta driver-nya menunggu di depan lobi RS sementara tim dokter menyiapkan keberangkatan Bapak.
Lobi lantai 2 adalah satu-satunya jalur keluar-masuk ruang isolasi, maka aku dan Ibu menunggu di sana, sedikit menjauh dari jalur lewat, supaya bisa menyapa Bapak ketika Bapak dibawa keluar. Tak lama kemudian, perawat mendorong tempat tidur Bapak melewati lobi itu. Aku dan Ibu buru-buru berteriak, "Bapak, semangat! Allahu akbar!"
Bapak sedikit menoleh dan memberi isyarat bahwa beliau mendengar seruan kami. Lalu perawat membawanya melalui pintu keluar pasien.
Aku dan Ibu bergegas turun lewat tangga menuju taksi online yang telah menunggu. Kepada driver, kami memintanya untuk mengikuti ambulans yang membawa Bapak. Untungnya, si driver berani ngebut untuk mengimbangi kecepatan ambulans. Perjalanan berlalu singkat.
Sesampainya di IGD Kariadi, aku dan Ibu mencari posisi sedemikian rupa sehingga masih sempat menyapa Bapak lagi. Dari ambulans, Bapak tidak dimasukkan ke IGD biasa, tetapi sebuah ruangan kecil tak jauh dari IGD yang disebut ruang dekontaminasi.
Di sela proses Bapak dibawa dari ambulans menuju ruang itu, aku dan Ibu kembali berseru dari jarak terdekat yang diizinkan, "I love you, Bapak!"
Lagi-lagi Bapak menoleh kepada kami dan mengacungkan jempolnya. Sekilas, Bapak tampak masih cukup kuat walaupun bernapas menggunakan masker oksigen.
Aku dan Ibu menunggu di lorong depan IGD semalaman. Berjaga-jaga kalau ada administrasi yang harus diurus sebelum Bapak masuk ke ICU. Niatnya tidur bergantian, tapi dalam kondisi begitu, mana bisa tidur lebih dari 10 menit? Shalat Subuh pun kami lakukan di lorong itu, bersajadahkan cadangan pakaian seadanya yang kubawa, tak sempat mencari sekadar mushala yang layak.
Apakah di dalam ruang dekontaminasi, Bapak tahu waktu? Mungkin bisa lihat HP atau jam tangan, tapi bisa jadi Bapak sedang tidur. Aku mengirim chat sekadar untuk memberitahukan sudah masuk waktu subuh, "Bapak, shalat subuh dulu."
Centang satu.
Apakah HP Bapak kehabisan baterai? Atau di dalam, HP Bapak sengaja dimatikan? Atau Bapak memang tak sanggup menggerakkan tangan untuk membuka HP?
Bapak baru menyalakan HP-nya jam 6, dan langsung membalas singkat, "Sdh."
Melihat respon Bapak itu, aku buru-buru menanyai lagi, "Alhamdulillah. Bapak kondisi gimana?"
Centang biru, tetapi Bapak tidak membalas. Statusnya online. Aku curiga, Bapak hanya meletakkan HP dalam kondisi WA masih terbuka.
Konfirmasi Bapak sudah shalat |
Kemudian aku tahu, kondisi Bapak "mengerikan". Saturasi oksigen anjlok sampai 40-an, seringnya di angka 50-60, hanya sesekali mencapai puncak di 70-an. Dokter memberi tahu kami, satu-satunya jalan adalah memasang ventilator. Tetapi pemasangan ini membutuhkan persetujuan keluarga, karena risikonya cedera di area mulut (misal gigi tanggal) atau bahkan kegagalan.
Ketika Ibu menanyakan pendapatku, aku sama bingungnya. Apa yang akan kaulakukan dalam kondisi demikian, antara hidup dan mati?
Tetapi, bukankah setiap tindakan pasti ada risiko gagal? Dan jika kami tidak mengusahakan sesuatu, bukankah risiko gagal sama besarnya, atau bahkan lebih besar? Soal risiko gigi tanggal... Yaa Kariim, bagiku itu risiko kecil jika itu bisa membantu menyembuhkan Bapak!
Begitu Ibu menandatangani surat persetujuan, dokter pun melakukan tindakan. Ketika keluar, dokter melaporkan Bapak "tidak nyaman" ketika dipasangi selang. Yang berikutnya aku tahu, "tidak nyaman" itu ternyata Bapak berontak luar biasa dan menarik-narik selang sampai lepas.
Perawat yang berikutnya datang akhirnya memberikan morfin. Dengan tubuh yang sudah tidak terlalu berontak, Bapak pun dibawa ke ICU. Aku dan Ibu mengikuti dari belakang. Sesampainya di sana, Bapak dimasukkan melalui pintu khusus bertuliskan "ISOLASI", sementara aku dan Ibu diminta menunggu di ruang satpam ICU.
Kami menunggu cukup lama sebelum perwakilan tim dokter dan perawat menemui kami. Ibu diminta menandatangani serangkaian berkas sebagai persetujuan untuk semua tindakan yang mungkin akan dilakukan pada Bapak, karena setelah ini kami sama sekali tidak bisa menemuinya, dan agar kami tidak perlu datang lagi ke RS.
Lagi-lagi, kami diminta meninggalkan nomor HP yang bisa dihubungi oleh ICU. Mengingat HP Ibu sering drop dan penuh dengan chat, kali ini giliran aku yang berperan sebagai contact person. Semua kontak terpusat ke WA ICU Isolasi, karena HP Bapak sudah tidak boleh dibawa, apalagi kondisinya yang bisa jadi "tidak kuat" memegang HP.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan, aku dan Ibu pulang.
Sepanjang jalan pulang, air mataku (yang selama di RS bisa ditahan) tak terbendung. Jalan yang kami lalui adalah jalan yang sering sekali kutempuh bersama Bapak; terakhir kalinya aku melalui jalan tersebut, aku ada di boncengan motor Bapak.
Melewati sebuah masjid... di masjid itu, Bapak sering mengajakku singgah untuk shalat. Betapa Bapak selalu memprioritaskan shalat di awal waktu, meski dalam perjalanan. Memilih melipir ke masjid daripada ngebut demi bisa shalat di rumah. Ya Syaafii, sebagaimana Bapak selalu bersegera menyambut panggilan-Mu, segerakan pula kesembuhan baginya.
Melewati kios pedagang... Bapak suka beli kerupuk di situ. Melihat minimarket... Bapak pernah memberi tahuku itu ancer-ancer kalau mau ke rumah Budhe. Betapa sepanjang jalan naik motor, Bapak sering mengajakku ngobrol, diskusi panjang lebar tentang banyak hal.
Kulihat si driver sempat melirik melalui spion dalam, entah mengecek jalan atau mengintip tangisku. Yang jelas, dia kemudian mengambil jalur memutar menuju titik tujuan, bukan jalur terpendek yang ditunjukkan peta. Mungkinkah dia bertekad mengalihkan perhatianku agar tidak terus terkenang jalan yang kulalui bersama Bapak?
Sampai di rumah, kami masuk melalui pintu samping langsung menuju kamar mandi belakang.
Sesiang itu, aku dan Ibu gelisah. Bertanya-tanya, apakah tindakan yang kami lakukan ke Bapak benar. ICU sudah mengabarkan kalau Bapak terpaksa ditidurkan agar tidak berontak ketika dipasangi selang ventilator. Membayangkan kesakitan Bapak, rasanya ngilu sekali.
Apakah keputusan kami mengizinkan pemasangan ventilator itu membantu atau justru menyiksa Bapak? Sebelum dipasangi ventilator, kami melihat sendiri dalam proses pemindahan Bapak dari RS Hermina ke RS Kariyadi bahwa Bapak tampak kuat dan bisa berkomunikasi walau dengan isyarat. Setelah dipasangi dan ternyata berontak, dan sekarang malah ditidurkan... komunikasi dengan beliau sama sekali terputus. Tetapi tanpa ventilator itu, saturasi oksigen Bapak terlalu rendah!
Yang membuatku bimbang, apakah usaha kami itu disebut usaha paling maksimal? Adakah usaha kauniyah lain yang masih bisa kami lakukan?
Kepada beberapa orang, kami berkonsultasi. Ada yang menyarankan, ikuti saja kata dokter, sebab "ditidurkan seringkali lebih nyaman untuk pasien, kalau ada edema otak lebih cepat sembuh, misalnya."
Ada juga yang menyarankan, jika dengan ventilator itu harapan hidupnya tinggi, maka ikuti. Namun jika harapan hidupnya 50:50 atau lebih rendah, lebih baik dilepas saja dan diberikan dukungan ruhiyah.
Aku dan Ibu ingin sekali mengikuti saran terakhir ini. Tapi dengan status Bapak sebagai confirm Covid yang harus diisolasi, mungkinkah kami datang dan memberikan dukungan ruhiyah yang diharapkan? Jika sama-sama diisolasi, dan kami tetap tidak bisa membacakan kalimat thayyibah di sampingnya, apa gunanya?
Dengan berat hati, kami tidak meminta perubahan tindakan bagi Bapak kepada dokter. Kami hanya berharap, kalimat-kalimat thayyibah dan bacaan tilawah kami mencapai Bapak.
Sejak itu, dimulailah hari-hari yang rasanya seperti training emosional dan spiritual, tapi versi 4D. Alias nyata.
* * *
Karena Bapak confirm Covid, dokter RS Hermina kemarin menyampaikan dua hal.
Pertama, sebagai keluarga pasien confirm, kami sekeluarga harus dites untuk menelusuri peyebaran virus corona. RS Hermina akan mengirimkan surat kepada Dinkes untuk diteruskan kepada puskesmas tempat kami tinggal supaya melakukan tindakan pengetesan pada kami.
Kedua, Ibu berinisiatif melaporkan kondisi Bapak ke petugas RT/RW setempat. Jika warga sampai mendengar kabar ini dari orang lain, dikhawatirkan mereka akan merespons negatif, misal menuduh kami menyembunyikan fakta. (Apalagi saat itu santer cerita di medsos tentang keluarga yang terkena Covid, walaupun sebagian tanpa gelaja, lalu dijauhi tetangga.)
Benar saja, Bu RT menjawab kesulitan kami dengan tanggap. Kami sekeluarga diminta karantina mandiri, termasuk ART yang terjebak di rumah kami. Pengecualian untuk aku dan Ibu jika harus ke RS.
Di grup PKK, Bu RT menggerakkan warga untuk menyuplai kami dengan kebutuhan makanan kami selama karantina. Dalam sehari, tiga keluarga bertugas untuk menyediakan bahan mentah dan diletakkan di tembok pagar rumah kami, pagi-siang-sore. Tetangga rumah sebelah juga menawarkan diri untuk menyiram tanaman kami yang tumbuh di luar pagar.
Yang sedikit lucu, ada kalanya para tetangga itu sudah menghilang setelah meletakkan makanan, tanpa memberi kami kesempatan untuk sekadar meneriakkan terima kasih dari dalam rumah. "Kayak ngasih sesajen aja," komentar adikku.
Selain dari tetangga, banyak pula saudara dan teman-teman keluarga kami yang mengirimkan paket macam-macam: bahan makanan, buah-buahan, vitamin, produk herbal, snack, bahkan makanan kucing! (Yang terakhir ini dari temannya adikku, karena tahu kami memelihara kucing dan khawatir kalau kami tidak bisa memberi makan kucing dengan layak.)
Kiriman sebanyak itu memenuhi meja kami, sampai kami kewalahan menghabiskan semuanya supaya tidak mubazir. Belum lagi setiap hari, kami wajib mengonsumsi vitamin dan semua ramuan herbal dosis tinggi.
* * *
Rabu, 29 Juli 2020
Petugas dari puskesmas datang untuk melakukan tes pada keluarga kami. Sedikit terlambat dari semestinya, karena ternyata surat dari Dinkes justru masuk ke Puskesmas Srondol (tempat RS Hermina berada) alih-alih Puskesmas Gunungpati, wilayah kami tinggal.
Petugas menjelaskan, kami sekeluarga termasuk ART (yang masih di sana karena ikut diisolasi 2 pekan bersama kami) akan diuji dengan rapid test. Jika hasilnya reaktif, baru akan diuji dengan swab; namun jika non-reaktif, tidak dilanjutkan swab. Siapa pun yang rapid-nya reaktif, harus diisolasi dulu sampai hasil swab keluar untuk menentukan langkah selanjutnya.
Dan hasilnya rapid adalah...
Aku dan adik-adik non-reaktif. Garis reaktif ibu tampak jelas, sedangkan garis reaktif ART amat sangat tipis nyaris tak terlihat. Keduanya diswab saat itu juga. Setelah itu, keduanya isolasi mandiri di kamar masing-masing.
Kabar buruknya, yang biasa mengomandani pekerjaan rumah tangga ya Ibu dan ART. Apalagi kalau harus masak yang bisa menghabiskan berjam-jam dalam sehari. Ibu pun meminta kepada Bu RT supaya warga mengirim makanan matang saja, karena di rumah tidak sempat masak.
Sebenarnya, aku juga ingin sekeluarga diswab semua biar mantap, tapi entahlah kebijakan puskesmas seperti itu. Jadi, tidak hanya Ibu dan ART, aku dan adik-adik juga separo isolasi untuk berjaga-jaga, mengingat hasil rapid Bapak juga non-reaktif tapi ternyata swabnya positif.
Sama-sama di rumah, tetapi kami beraktivitas di kamar masing-masing. Jika keluar kamar, tetap saling menjaga jarak dan memakai masker.
* * *
Profile picture WhatsApp ICU Covid RS Kariadi |
ICU sudah mewanti-wanti kalau mereka belum tentu rutin mengabari kondisi Bapak dengan banyaknya pasien di sana. Keluarga sendirilah yang harus proaktif menanyakan jika ingin tahu perkembangannya.
Sebagai contact person keluarga, setiap hari aku bertugas chat ICU. Menanyakan kabar Bapak, juga meminta tim perawat/dokter untuk membisikkan kalimat thayyibah ke Bapak.
Rasanya seperti sedang menghubungi kekasih jarak jauh yang super sibuk. "Lagi apa, sudah makan atau belum, gimana kabarnya...." Namun template pertanyaanku adalah, "Bagaimana kabar Bapak hari ini?"
Jawaban dari seberang tak kalah berulangnya: kondisi Bapak masih stabil, masih dipasangi ventilator, saturasi normal, tanda-tanda vital juga normal.
Begitu terus setiap harinya. Harap-harap cemas menghubungi, lalu lega sesaat mendengar jawabannya. Jika bukan karena rindu pada kekasihku, cinta pertamaku, lelaki pujaanku itu... tentu aku sudah bosan menghubungi lagi dan tinggal menunggu ICU mengabarkan sendiri jika ada situasi darurat.
* * *
Jumat, 31 Juli 2020
Sejak "new normal" digulirkan, aku selalu kepikiran, bagaimana akan shalat Idul Adha. Benar, sudah banyak yang ke masjid dengan "menjalankan protokol kesehatan", tapi aku sendiri tetap saja ragu. Dengan situasi ini, Allah semacam "memberi solusi" padaku: shalat Id di rumah saja.
Beberapa pekan sebelum Bapak sakit, aku pernah ngobrol dengan Bapak.
"Tahun ini, ulang tahun Bapak barengan Idul Adha, ya?"
"Berarti makan-makannya nggak usah beli, kan ada daging qurban."
Qadarullah, bahkan Bapak entah sadar atau tidak kalau hari ini genap 57 tahun. Kami hanya bisa memohon pada Allah agar Bapak diberi umur lebih panjang, karena Bapak pun orangnya menjaga silaturrahim.
Seperti biasa, aku menghubungi ICU. Kali ini disertai permintaan untuk menyampaikan ke Bapak ucapan selamat Idul Adha dan selamat ulang tahun, semoga Allah menghadiahi Bapak dengan kesembuhan yang berkah. Semoga alam bawah sadar Bapak merespons tanda cinta yang kami titipkan itu.
Kami melewati pagi hari raya dengan cukup normal. Ada yang mengirimkan lontong, opor, dan sambal goreng.
Jam 2 siang, aku sedang leyeh-leyeh di kamar. Tiba-tiba HP-ku berdering.
Telepon dari ICU!
Tidak biasanya ICU menghubungi kami lebih dulu, apalagi melalui telepon.
Tanpa memedulikan protokol kesehatan di dalam rumah, aku menghambur ke kamar Ibu. Kuserahkan HP-ku padanya, karena aku tak sanggup jika harus berbicara sendiri dengan dokter. Kutekan tombol loud speaker sehingga serumah ikut mendengar.
Dokter bilang, kondisi Bapak menurun. Saturasi mentok di 90%. Nadi dan napas sama-sama memburu. Dokter sedang mengusahakan perbaikan, namun kami harus siap dengan segala kemungkinan.
Rasanya seperti ditampar sama Allah. Entah karena kelelahan dengan aktivitas karantina, atau karena selama ini admin ICU bilang kondisi Bapak stabil, doa-doaku rasanya menjadi mekanis. Sekadar rutinitas. Sekarang seolah kembali disadarkan untuk kembali menggenjot kuantitas dan kualitas doa.
Mungkin Allah rindu.
Lebih dari satu jam kemudian, terdengar notifikasi chat dari ICU. Tanganku sudah gemetaran ketika membuka. Alhamdulillah, berisi kabar baik.
"Ibu, sekarang saturasi oksigennya sudah berangsur naik. Sekarang jadi 93%."
Sebetulnya angka itu masih di bawah normal, tetapi kami tetap bersyukur karena ada kenaikan. Tinggal digenjot supaya naik 2-3% lagi saja.
* * *
Hari-hari selanjutnya, aku masih bertugas menanyakan kondisi Bapak setiap hari, sama seperti sebelumnya. Bedanya, kali ini admin ICU hampir selalu mengabarkan kondisi Bapak tidak stabil. Saturasi masih berkisar antara 85-90%.
Bagiku, itu sudah seperti tekanan batin tersendiri. Ditambah, aku masih harus melaporkan kabar itu pada keluarga besar, juga rekan-rekan yang sama cemasnya.
Pada titik tertentu, rasanya aku tak sanggup membalas semua chat yang masuk. Mengulang berita yang sama... orang lain mungkin berpikir, tinggal klik forward apa susahnya sih. Tapi bagiku, itu seperti merapal "doa" berulang-ulang dan mengaminkannya. Bukankah setiap ucapan adalah doa?
Dari awal, aku mengatur nada khusus untuk notifikasi chat dan call WA dari ICU. Pikirku, itu agar aku bisa memprioritaskan panggilan itu jika ada kejadian darurat.
Sejak telepon terakhir, nada dering itu menghantuiku ke mana-mana. Bunyi air mengalir di pipa seperti bunyi dering telepon dari ICU. Getar HP orang lain di rumah seolah getar HP-ku sendiri, kalau-kalau ada berita dari ICU. Derum mesin kulkas dan bunyi alarm meteran listrik sudah seperti suara-suara di rumah sakit.
Setiap kali ada notifikasi di HP-ku, kepalaku butuh waktu untuk memproses, "Itu bunyi yang biasa, bukan dari ICU."
Separanoid itu.
Seandainya tidak punya Allah, entah sudah bagaimana jadinya aku. Mungkin aku sudah gila.
Kalau dulu aku hanya mendoakan kesembuhan Bapak, kali ini aku mengikutinya dengan harapan, jika memang sudah habis waktu Bapak di dunia, semoga Bapak diwafatkan dalam keadaan sedang mengingat Allah, bahwa asma Allah adalah kata-kata terakhirnya.
Itulah sedihnya ketika ada keluarga diisolasi. Tidak bisa menemani untuk memastikan hal tersebut.
* * *
Senin, 3 Agustus 2020
Hasil swab keluar. Ibu negatif, ART positif. Ibu lega sekali bisa lebih "bebas" keluar kamar untuk mengurus keluarga. Sementara itu, ART diisolasi di kamarnya, hanya diizinkan keluar-masuk lewat jendela jika ada perlu ke kamar mandi atau tempat wudhu.
Kenapa ART tidak isolasi di rumahnya sendiri saja? Soalnya di sana tidak ada kamar khusus untuk isolasi. Belum lagi, dia tampak takut akan tanggapan masyarakat di sekitarnya, takut akan diperlakukan secara negatif. Padahal sebetunya ya dia tanpa gejala. Puskesmas pun berkoordinasi dengan puskesmas di lingkungan tempat tinggal ART untuk mencoba menyusuri penyebaran virus di sana.
ART juga menjalani swab kedua. Ibu melapor pada petugas puskesmas, seandainya hasil swab ART positif lagi, tolong carikan tempat karantina di wisma pemerintah atau apalah. Ibu merasa tak sanggup mengurus OTG confirm dalam kondisi fisik dan psikologis seperti ini.
* * *
Rabu, 5 Agustus 2020
Aku dan Ibu kembali ke ICU. Sehari sebelumnya, perawat mengundang kami datang hari ini untuk menerima penjelasan terkait obat yang akan diterima Bapak.
Karena perawat memberi jeda sehari antara informasi pemanggilan dan waktu pertemuan, ada setitik kelegaan. Setidaknya kondisi Bapak dianggap cukup kuat untuk menunggu sampai kami datang, tidak terlalu darurat sehingga kami diharuskan datang begitu diinformasikan.
Kami menunggu dokter di lobi ICU. Di sana, hanya ada satu satpam sedang berjaga.
Kepada satpam itu, Ibu bertanya, "Apakah di ruang ICU ada kaca ke luar supaya kami bisa melihat keadaan pasien?"
Satpam menjawab tidak sambil memberikan senyum datar.
Tahukah kau, sesedih apa rasanya, hanya berjarak beberapa puluh meter, namun tak bisa melihat?
Terbersit rasa iri melihat beberapa pengunjung di lobi. Kerabat mereka ada di ICU biasa, bisa dikunjungi pada jam-jam tertentu, meski hanya satu orang sekali masuk. Bapak ada di ICU isolasi, dilihat pun tak bisa.
Dokter datang. Aku tidak terlalu memahami penjelasannya. Yang bisa kutangkap, kondisi Bapak yang tak kunjung membaik meski sudah diberi obat-obat tertentu. Beberapa waktu lalu sempat disadarkan dan dilepas ventilatornya, namun paru-paru Bapak tidak bisa menyerap oksigen secara mandiri.
Dokter memanggil kami karena ingin mencoba obat lain. Namun, dibutuhkan persetujuan dari keluarga untuk membagikan data Bapak setelah dicobakan obat baru ini. Mengenai pemberiannya sendiri, menunggu apalah, aku mendengar semacam ada koordinasi dengan WHO.
Jika itu merupakan ikhtiar terbaik untuk menolong Bapak, aku dan Ibu tidak keberatan. Jika data memang perlu dibagikan ke lab atau instansi kesehatan terkait demi kemajuan penanganan Covid-19, kami berharap itu menjadi pahala jariyah bagi Bapak dan mempercepat kesembuhannya.
* * *
Jumat, 7 Agustus 2020
Jam 10 malam, aku bersiap tidur. Di ambang antara sadar dan tidur, kudengar HP-ku berdering. Mataku melihat nama penelepon, ICU. Namun sinyal otakku lambat memproses sumber panggilan itu.
Secara instingtif, aku langsung berteriak memanggil Ibu sambil bergegas ke kamarnya. Kunyalakan loud speaker.
Kata dokter, kondisi Bapak menurun. Jantungnya melemah, namun setelah dilakukan tindakan, sudah berangsur membaik. Hanya saja, kami harus siap dengan semua kemungkinan.
Ibu mendesak dokter untuk membimbing Bapak mengucap tahlil, tapi dokter berkata entah kapan lagi akan masuk ke ruangan Bapak.
Separuh jiwaku serasa terbang. Tanganku gemetar keras ketika mengabarkan ke banyak pihak: keluarga besar, beberapa teman dekat, beberapa guru... meminta doa.
Aku dan Ibu membangunkan adik-adik. Dengan tetap menjaga jarak dalam rumah, kami membacakan Alfatihah, Yaasiin, dan ma'tsurat berjamaah. Berharap doa-doa kami terhubung dengan Bapak, berharap Bapak merasakan doa-doa kami, bahkan berharap... talqin jarak jauh kami sampai ke telinganya.
Aku mengirimkan chat ke ICU, menanyakan hasil swab terakhirnya (kabarnya beberapa hari sebelumnya, Bapak diswab lagi). Berharap hasilnya negatif, sehingga kami bisa terbang menemuinya saat itu juga.
ICU tidak menjawab.
* * *
Sabtu, 8 Agustus 2020
Hampir semalaman aku dan Ibu terjaga. Menjelang pukul 2 dini hari, kami sepakat untuk memaksakan diri tidur sejenak agar fisik kami tidak ambruk.
Kami kembali bangun pukul 3 untuk tahajjud. Lelah luar biasa, aku berbaring memejamkan mata sambil menunggu subuh.
Ketika waktu subuh tiba, aku dibangunkan, bukan oleh azan subuh, melainkan dering panggilan dari ICU. Dokter mengabarkan bahwa jantung Bapak berhenti!
"Innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun..." respons Ibu pelan.
Dokter meminta izin untuk dilakukan tindakan entah apa (aku lupa istilahnya) untuk memacu jantungnya kembali, tapi dengan risiko patah tulang rusuk.
Aku dan Ibu berpandangan. Ibu meminta pendapatku. Sepersekian detik kami harus memutuskan. Aku menguatkan diri.
"Jika secara medis itu tindakan terbaik, lakukan."
Dokter berkata akan mencoba tindakan itu. Jika selama 10 menit tidak ada perubahan, berarti Bapak akan dinyatakan tidak ada.
Aku kembali membangunkan adik-adik, lalu memaksa mereka dan Ibu untuk segera wudhu dan shalat subuh. Hanya 10 menit waktu kami. Aku ingin jika mendengar kabar buruk, maka kami dalam kondisi siap secara ruhiyah.
Belum ada 10 menit berlalu. Baru satu rakaat shalat sunnah. HP kembali berdering.
Ibu terpaksa membatalkan shalatnya untuk mengangkat telepon, sedang aku menyelesaikan shalat dengan terburu-buru. Kuhampiri Ibu untuk menyalakan loud speaker HP, dan masih sempat mendengarkan kalimat-kalimat awal dokter.
Intinya, dokter menyatakan sudah mengupayakan hal maksimal, tetapi, qadarullah... Bapak sudah tidak ada.
Tangis adikku langsung pecah. Ibuku memejamkan mata seraya melafalkan istirja'.
Aku?
Aku mati rasa. Rasanya hampa.
Dulu, ketika aku kehilangan laptop, aku seolah ingin terbangun dari mimpi. Aku seolah memaksa diri untuk bangun, bahwa semua itu hanya mimpi.
Kali ini... aku sadar betul ini nyata. Aku tidak mencoba bangun dari tidur. Aku ada di sana... tidak memiliki pilihan selain menyerahkan semua kepada Allah. Sebagaimana Ummu Sulaim yang merasa bahwa anaknya adalah titipan-Nya, sehingga wajar jika Dia mengambilnya... begitu juga Bapak, adalah milik-Nya.
Telepon masih menyala. Kudesak Ibu untuk menanyakan hasil swab terakhir Bapak.
Terdengar suara dokter di seberang menanyai entah siapa. Lalu kembali berbicara pada kami. "Swab terakhir masih positif. Karena itu, pemulasaraan dilakukan sesuai protokol Covid."
Dokter masih mengucapkan bela sungkawa dan sebagainya. Setelah memastikan bahwa kami sekeluarga negatif corona, dokter meminta kami ke rumah sakit pagi nanti untuk mengurus pengambilan jenazah. Jawaban Ibu hanya berupa pengiyaan tanpa makna.
Air mataku rasanya sudah terkuras habis dalam dua minggu sebelumnya. Aku sudah lupa... bagaimana caranya menangis.
Bagaikan robot yang diprogram, aku mengajak Ibu dan adik-adik bersegera shalat Subuh, sebagaimana Bapak dulu juga selalu menyegerakan shalat. Apalagi, ketika rasa tak teridentifikasi namanya, aku tak sabar untuk mengadu pada Allah.
Baru setelah shalat, kami bergerak. Mengabari keluarga besar, menghubungi Om yang tinggal di kampung sebelah untuk menguruskan pemakaman, menghubungi tetangga dan kawan-kawan....
Pilihan pertama kami untuk memakamkan Bapak adalah di permakaman dekat rumah lama di Ungaran. Makam yang sama dengan Eyang Kakung dan Uti, supaya lebih mudah bagi kami jika ingin berziarah.
Pilihan pertama? Ya. Dengan status Bapak yang confirm Covid, muncul kekhawatiran akan penolakan dari warga. Ternyata, petugas berwenang RT dan RW di sana tidak masalah. Toh, secara hukum (KTP), Bapak masih merupakan warga di sana.
Banyak saudara dan kenalan yang menanyakan rumah duka, apakah di Gunungpati atau Ungaran. Kami menjawab akan dimakamkan di Ungaran, tetapi mengingat situasi dan kondisi, kami meminta mereka untuk tidak takziyah dulu. Alih-alih demikian, kami memohon agar mereka melaksanakan shalat gaib untuk Bapak.
Mempertimbangkan berita-berita yang santer terdengar, yang katanya keluarga tidak bisa menyalati jenazah dan sebagainya, kami memikirkan kemungkinan untuk meminta kepada pihak rumah sakit mengizinkan keluarga atau warga kampung menyalati jenazah, entah dengan jenazah di ambulans yang terparkir di ujung gang atau bagaimana. Pilihan terakhirnya, kami meminta warga kampung di rumah Gunungpati untuk melaksanakan shalat gaib saja.
Segala puji bagi Allah, semua proses pemulasaraan terbilang mudah.
Kami sekeluarga berbagi tugas. Aku dan Ibu ke RS untuk mengambil jenazah. Om dan Tante beserta adik-adikku mengurus komunikasi dengan tetangga di Gunungpati serta proses pemakaman di Ungaran.
Sementara itu, hasil swab kedua ART keluar hari itu juga. Negatif. Dia langsung diantarkan pulang dengan taksi online.
Semua kecemasan kami terhapus saat bertemu dokter forensik di RS. Tidak hanya perwakilan keluarga diizinkan melihat Bapak sebelum dimandikan, keluarga juga diizinkan menyalati di ruang jenazah bersama modin RS. Bahkan untuk menurunkan ke liang lahat, bisa dilakukan pihak keluarga jika ingin. Menurutnya, hal tersebut cukup aman karena di dalam jenazah sudah terbalut plastik, di luar pun peti juga terbalut plastik rapat. Namun, jika tidak ada tenaga yang cukup, RS menyediakan tim untuk itu.
"Nah, siapa yang akan masuk?" tanya dokter usai panjang lebar menjelaskan.
"Ini kami gantian satu-satu, atau langsung berdua?" aku balik bertanya.
"Satu orang saja," tegas dokter.
Aku langsung mempersilakan Ibu, beralasan bahwa aku toh sudah "puas" menemani Bapak sewaktu di RS Hermina, masa-masa terakhir Bapak bisa ditunggui keluarga.
Ibu pun digiring menuju ruang isolasi. Di luar, Ibu diberi baju hazmat lengkap dan diwanti-wanti supaya tidak menyentuh jenazah Bapak atau kehilangan kendali diri. Di ruangan kecil itu, Ibu menemui Bapak untuk terakhir kalinya, melihat jasadnya yang bersih, dan membacakan doa apa pun yang terlintas saat itu. Setelah dirasa cukup, Ibu keluar dan langsung disemprot dengan disinfektan, lalu melepas APD yang dikenakan.
Beberapa saat kami menunggu. Lalu modin rumah sakit keluar mendorong kereta jenazah yang tertutup rapat, dan meminta aku dan Ibu mengikuti ke kamar jenazah.
Mendengar cerita Ibu tentang jasad Bapak yang tampak seolah sedang tidur, di sepanjang lorong itu aku mengiringi dengan bacaan 4 ayat terakhir surah Al-Fajr.
"Yaa ayyatuhan-nafsul-muthmainnah, irji'ii ilaa rabbiki raadhiyatan mardhiyyah. Fadkhulii fii 'ibaadii, wadkhulii jannatii. (Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka masuklah dalam golongan hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."
Setelah Bapak selesai dikafani dan dimasukkan dalam peti (semua dibalut plastik), modin RS beserta satu petugas membersamaiku dan Ibu menyalati Bapak tepat di depan petinya.
Setelah tim pemakaman di Ungaran siap, jenazah diantar menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
Di permakaman, adik-adik sudah menunggu bersama Om dan Tante. Ada pula sepasukan petugas BPBD dengan APD lengkap, siap melaksanakan pemakaman. Rupanya "kiriman" dari pemerintah setempat. Beberapa pejabat berwenang dan pasukan pengamanan pun hadir.
Adik perempuanku langsung histeris melihat Bapak harus diperlakukan demikian, dipetikan.... Aku memperingatkannya untuk menahan diri.
Peti Bapak diletakkan di gerbang makam, supaya kami keluarga bisa menyalati lagi, kali ini bersama adik-adikku dan Om serta Tante. Hanya keluarga yang diizinkan menyalati dan mengiring ke liang lahat, sementara warga lain yang turut datang berjajar dengan jarak di sepanjang tepi jalan. Keluarga pun harus menjaga jarak beberapa meter selagi peti diturunkan, dan baru bisa mendekat ketika proses sudah selesai.
Permakaman itu sudah penuh sesak. Hanya ada tanah urukan sungai di sisi barat, masih lumayan luas. Melihat yang demikian, aku berharap sekali agar di dalam pun, kubur Bapak seluas ini dan bahkan lebih, serta benderang dengan cahaya dari amal-amal baiknya.
Terlintas di benakku... saat ini mungkin malaikat tengah menanti untuk menanyai Bapak. Rupanya Ibu juga sedikit enggan meninggalkan makam, karena menyadari... ketika pelayat pergi, malaikat akan mendatangi. Ya Allah, mudahkan Bapak menjawab pertanyaan malaikat-Mu....
Namun tak bisa selamanya kami berdiri di sana. Setelah berdoa beberapa lama, mau tak mau kami sekeluarga pun meninggalkan makam.
"Aku mencintaimu, Bapak, karena Allah..." bisikku sebelum membalikkan badan.
* * *
Aku tahu, banyak orang mungkin akan berpikir, "Udah tahu kondisi pandemi, malah dibawa ke rumah sakit. Ya jelas diisolasi. Apalagi sakitnya cuma batuk-batuk. Coba dirawat sendiri di rumah, setidaknya kan masih bisa ketemu di akhir-akhir hayatnya."
Tetapi... Ya Allah, apa lagi yang bisa kami lakukan? Waktu itu kami terpaksa membawa Bapak ke RS karena Bapak tidak mau makan! Kalaupun ternyata Bapak dirawat di rumah dan mengalami gagal napas, apa tindakan yang bisa kami berikan?
Secara kasatmata, keluhan Bapak mungkin cuma batuk-batuk. Bagi orang awam, kita melihatnya sebagai gejala ringan. Ketika dibawa ke rumah sakit, baru ketahuan kalau ternyata kondisinya sudah parah. Happy hipoksia, itu istilahnya yang baru kuketahui belakangan ini.
Lagipula, bukankah manusia diharapkan berikhtiar semaksimal mungkin? Mastatha'tum. Mengerahkan semua usaha kauniyah, kemudian memasrahkan hasilnya pada Allah. Jika memang takdirnya umur Bapak sudah habis, bagaimana kami mempertanggungjawabkan mastatha'tum itu?
Wallahi, aku sama sekali tidak menyesali takdir yang Allah gariskan. Bahkan dengan sakitnya Bapak, aku merasa Allah memberi waktu kami untuk menyiapkan hati lebih dulu, untuk mendekatkan diri dulu pada Allah, mengikhlaskan apa pun hasil akhirnya.
Bayangkan jika Allah memanggil Bapak dengan mendadak. Mungkin kami justru histeris sampai menolak takdir dan menyalahkan Allah. Na'udzubillahi min dzalik. Pun Allah memberikan Bapak sakit juga tidak lama, sehingga Bapak tidak terlalu lama menderita.
* * *
Semoga ini jadi pelajaran buat kita semua. Covid-19 itu nyata. It's not a hoax, it's not a joke.
Konspirasi? Bisa jadi. Tetapi meyakini bahwa itu konspirasi bukan berarti mengabaikan akibat yang ditimbulkan konspirasi itu. Korban jiwa berjatuhan.
Benar, bahwa sebelumnya pun sudah banyak penyakit mematikan khususnya di Indonesia ini. Benar, bahwa penyakit menular bukan hanya Covid, dan sebelumnya kita tidak sepanik itu. Tapi itu cukup, kita tidak butuh penyakit lain, apalagi menular, yang bisa membunuh lebih banyak saudara kita lagi.
Gregetan rasanya jika melihat ada orang yang dengan santainya keluar rumah sekadar untuk jalan-jalan atau liburan, bukan karena keperluan yang penting dan mendesak. Alasannya bosan di rumah, butuh hiburan. Kadang pede melenggang tanpa masker. Mendekatkan muka ke lawan bicara ketika bercakap.
Duh, kalau lagi di puncak emosi, dalam hati aku bisa memaki mereka: murderer!
Masih ada pula beberapa saudara jauh, kolega, dan teman-teman keluarga yang takziyah silih berganti. Sebetulnya kami pun terharu banyak yang peduli pada Bapak, tetapi kalau mereka mulai mengendorkan protokol itu, kadang bikin horor sendiri. Sampai sekarang aku masih trauma.
Sekarang ini data penyebaran Covid lagi gila-gilaan naiknya. Sampai ada kelakar, ini bukan gelombang kedua, tapi gelombang pertama yang belum mencapai puncak! Dengan pemahaman masyarakat yang mengira "new normal" berarti sudah bisa beraktivitas normal hanya dengan masker (itu pun on-off alias buka-tutup), kayaknya emang satu-satunya cara mengurangi penyebaran virus ya lockdown dua minggu. Total.
* * *
Entah seperti apa kondisi di daerah lain, tetapi berkaca dari dua RS tempat Bapak menjalani perawatan, kiranya ada satu hal yang kuinginkan diubah dari pelayanan terhadap pasien corona.
Jika memang harus diisolasi, sebaiknya ruang isolasi itu memiliki kaca yang memungkinkan pasien dan keluarga bisa saling bertatap muka (minimal sekotak kaca seperti yang ada di ruang isolasi IGD RS Hermina Banyumanik). Kalaupun ruangan itu kedap suara, sediakan pula alat semacam interkom supaya setidaknya keluarga bisa berbicara kepada pasien (terlepas dari kondisi pasien bisa berkomunikasi langsung atau tidak). Kukira, ini setidaknya bisa memberikan support agar pasien gembira, sehingga mempercepat proses penyembuhan.
Banyak orang yang memiliki gejala (ataupun tanpa gejala namun positif corona) yang enggan memeriksakan diri karena takut tidak bisa bertemu keluarga lagi. Keluarga juga takut membawa anggota yang sakit itu ke dokter atau rumah sakit karena takut tidak bisa merawat sendiri. Jika ini dibiarkan, bisa-bisa ada korban berjatuhan tanpa terdeteksi.
Bapak akhirnya kalah dengan corona. Namun, semoga pengalaman yang kami jumpai pada Bapak mengajarkan pada kita semua untuk mewaspadai wabah ini, bagaimana sebaiknya kita berusaha jika penyakit itu mendekat. Kuharap tidak ada lagi orang yang harus mengalami apa yang Bapak rasakan atau lebih parah.
Sayangi orang-orang terdekatmu. Curah-curahi mereka dengan ekspresi cinta selagi masih ada. Jaga hidup mereka, dengan melaksanakan protokol kesehatan yang sesuai, rajin mengonsumsi vitamin dan dopping, rajin olahraga, serta yang terpenting rajin berdoa.
Don't know what to say ....semua hanya milik Nya...
ReplyDeleteDan akan kembali pada-Nya...
DeleteSalam takzim buat Bu Sari...
Keren,bu Mul baca sampai habis,semoga ayahmu Husnul khotimah
ReplyDeleteAamiin... matur nuwun semua bantuannya, Bu Mul...
DeleteSalam utk Ibu,bu Ani blm bisa ke rumah ya.
ReplyDeleteWa'alaikumussalam, Bu Ani...
DeleteTidak apa2, Bu...
Tulisannya bagus, kalo dibukukan, aku jadi orang pertama yang PO insya Allah :)
ReplyDeleteSiap, boleh nih kalau mau cariin penerbit :p
DeleteInsyaAllah Bapak husnul khotimah... Sabar.. Allah lah pemilik hidup dan mati kita waiib usaha. .
ReplyDeleteAamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeleteLove u... Salam untuk keluarga yang disayang Allah
ReplyDeleteAamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeletePeluk mbak Lil ❤️
ReplyDeletePeluk Meika juga 🤗
DeleteMohon ijin share, semoga keluarga yg ditinggalkan dinaungi ketabahan 🙏
ReplyDeleteAamiin, jazakallah khairan
DeleteThanks for sharing Lila. It must be hard. Hugs
ReplyDeleteThanks for your support, whoever you are 🤗
DeleteMembacanya adalah seakan aku menjadi kamu lila.. Dan beliau seakan2 bapakku sendiri.. Insya Allah khusnul Khotimah... 😭😭😭😭
ReplyDeleteAamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeleteHusnul khatimah InshaAllah. Allah Mahatahu yang terbaik untuk hamba-Nya. Semangat terus Lila dan keluarga...
ReplyDeleteAamiin, jazakallah khairan, Akh Wahid
DeleteSemoga Bapak husnul khotimah..amin..amin..
ReplyDeleteAamiin, jazakillah khairan 🙏
DeleteInsyaAllah bapak husnul khotimah mba..aamiin..aamin..mb lila n keluarga smg sehat terus🤲
ReplyDeleteAamiin, jazakillah Irma... Doa yg sama untukmu 🤗
DeleteYa robb.. insya Allah bpak husnul khotimah mba.. mba lila n keluarga kuat
ReplyDeleteAamiin, jazakillah khairan yaa...
DeleteBtw, ini Husnul yg mana ya? (Afwan, ada banyak Husnul yg kukenal 😁)
Innalilahi wa innalilahi roujiun, semoga bapak kamu khusnul khotimah ya.. kebetulan bapak saya juga meninggal di tanggal yg sama dan penyakitnya Covid 19 juga, terima kasih sdh share ini, semoga bisa buat pembaca lebih aware dan nggak ada kena kejadian yg sama seperti kita, aamiin
ReplyDeleteInnalilahi wa inna ilaihi raajiuun... Turut berdukacita juga yaa... Semoga almarhum berdua beroleh pahala syahid seperti yg Allah janjikan, dan menjadi pelajaran buat kita yang masih hidup untuk waspada... 🙏
DeleteSemoga pak wirawan khusnul khotimah, aamiin, mba lil lihai banget njabarin kisahnya
ReplyDeleteAamiin, semoga bisa diambil hikmahnya yaa 🙏
DeletePeluk mbak lila :')))
ReplyDeletesemoga pak wir husnul khotimah ya Allah, terangilah kuburnya, lapangkan kuburnya. pak wir semasa hidup banyak sekali berbagi ilmu, banyak mengantarkan anak-anak didiknya memenangkan lomba, sungguh ilmu yg tak ternilai, semoga dapat menjadi teman pak wir di alam kubur, aamiin ya Allah
Masyaallah, aamiin ya Mujibassailin 🤲🏻
DeleteBtw, ini Hany SEC kah?
Teruskan Api perjuangan Pak wirawan , jangan padam hingga tampu selanjutnya
ReplyDeleteInsyaallah... Terima kasih ya...
DeletePak guruku, semoga husnul khotimah dan keluarga yang di tinggalkan diberi kesabaran aamiin ����
ReplyDeleteAamiin ya Rabb 🤲🏻
DeleteTerima kasih ya Mbak 🙏
😭😭😭
ReplyDelete🙏🙏🙏
DeleteAlfaatihah buat bapaknya ya mbak:(
ReplyDeleteAamiin, jazakillah khairan katsiiran 🙏
DeleteTurut berduka cita ya mbak untuk bapak. Semoga almarhum di terima di sisi Allah. Almarhum adalah guru yang bisa membuat saya berdecak kagum. Dengan dedikasinya pada siswa, tidak lupa almarhum selalu membuat kita selalu mengingat Allah.
ReplyDeleteSaya mohon ijin untuk share mbak
Aamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeleteSilakan, jika itu dirasa bermanfaat 🙂
innalilahi wa innailaihi rojiun, semoga almarhum husnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan ... semoga covid segera ditemukan vaksinnya, aaammiinnn
ReplyDeleteAamiin ya Rabb 🤲🏻. Jazakumullah khairan yaa.
Deletesemoga bapak wirawan khusnul khotimah
ReplyDeletenderek belasungkawa ya dek
salam dari kami murid2nya di STM
Banyak yang ikut kehilangan, semoga keluarga diberi ketabahan.
Terima kasih banyak, Mas. Salam juga buat murid2 lain beliau 🙏
DeleteSemoga pak Wirawan Khusnul khatimah, salam cinta untuk sekeluarga ❤️
ReplyDeleteAamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeleteSemoga keluarga di beri ketabahan, sampai nangis bacanya🤧🤧
ReplyDeleteAamiin. Jazakumullah, untuk siapa pun Hamba Allah yg komen ini :)
DeleteSemoga bpak Wirawan dapat tempat terindah disisi Allah SWT.amin amin amin YA Robb..salam dr kami alumnus STMPembangunan..
ReplyDeleteAamiin, jazakumullah khairan yaa... Mohon maafkan beliau jika selama mengajar ada kesalahan... 🙏🏻
DeleteAlfatihaa untuk bapak...semoga Bapak husnul khotimah dan mba sekeluarga diberikan keluasan sabar dan tabah, aamiin...
ReplyDeleteAamiin, jazakillah khairan. Salam kenal ya :)
DeleteLilaaa.. yang sabar ya dek, insya Allah almarhum husnul khotimah, aamiinn ya Allah..
ReplyDeleteSemangaatt Lila!
Aamiin, Yaa Mujibassailin... Jazakillah, Mb Sus 😙
DeleteSemoga Pak Wirawan Khusnul Khotimah mbak, terima kasih sudah berbagi.🙏🙏🙏. Semoga Alloh SWT selalu menjadi pelindung,mempermudah urusan mbak dan menurunkan berkah kepada mbak dan keluarga. Aammin.
ReplyDeleteAamiin. Jazakallah khairan katsiiran, Mas, atas doa dan supportnya selalu. 🙏🏻
Delete