Impian Kita Bersama
"Mbak, mau
gabung FLP di sini, nggak?"
"Emangnya
ada, Pak? Kok saya baru tahu,ya?"
"Ada dong,
ini baru saya dirikan."
Sofi hanya
membalas dengan emoji wajah datar.
"Hehe…
Saya emang berencana mendirikan FLP di kabupaten ini. Makanya saya butuh
bantuan njenengan buat jadi
pengurusnya."
Diajak
sebagai pendiri FLP? Itu kehormatan, batin Sofi, meski hanya di tingkat
kabupaten yang kultur masyarakatnya masih belum melek literasi ini. Apalagi, Sofi sempat menyesal, waktu kuliah dulu tidak
mencari komunitas penulis bervisi dakwah terbesar di Indonesia ini. Mungkin ini
kesempatan untuk menebusnya?
"Sekalian njenengan ajak temen lain juga, ya. Nanti dari tiga orang itu, kita
bisa rekrut lebih banyak orang lagi," sambung Hamzah tanpa menunggu respon Sofi
atas chat sebelumnya.
Obrolan itu ditutup dengan janji waktu
dan tempat untuk kopi darat calon pendiri FLP kabupaten. Sofi melanjutkan
aktivitasnya menyapu halaman rumah sambil memilah teman yang bisa diajaknya.
Satu-satunya nama yang melintas di
benak adalah Khadijah. Di SMA dulu, Khadijah adalah kakak kelas Sofi, satu
tingkat di atasnya. Sejauh Sofi tahu, Khadijah memang tidak terlalu gemar
menulis, lebih suka menyampaikan gagasannya dengan berbicara. Tapi sekali
bersuara, kata-katanya dalam, penuh makna, dan menyihir lawan bicaranya.
Terkadang dia juga menuliskan pemikirannya lewat Facebook, tetapi tidak
panjang. Siapa tahu, kalau diajak gabung
dengan FLP, semua mutiara lisannya bisa terekam abadi melalui tulisan, jadi
lebih banyak orang yang dapat mengambil hikmah darinya.
Beruntungnya, Khadijah sependapat
dengan Sofi. Hanya saja, dengan satu syarat.
"Kalau aku lagi males nulis, aku rekam
aja pemikiranku, ntar kamu yang ngetik," kata Khadijah.
Sofi mencubit pinggang Khadijah yang
memboncengkannya menuju Eleanor’s Café, tempat janjian mereka dengan Hamzah. Tawa
mereka sama-sama tersamarkan oleh suara knalpot angkot yang melewati mereka.
Di Eleanor’s Café, Hamzah sudah
menunggu. In time banget, batin Sofi.
Mereka janjian jam 4 sore, dan saat itu baru pukul setengah empat. Sofi sudah
sengaja datang lebih awal supaya bisa pesan makan dulu (maklum, belum makan
siang), ternyata masih juga keduluan.
Tapi soal semangat menulis, Sofi tahu,
Hamzah jagonya. Sudah sejak di kampus begitu. Dari tiga organisasi yang
diikutinya, Hamzah mengelola sendiri buletin masing-masing organisasi, bahkan sembilan
puluh persen artikelnya ditulisnya sendiri juga. Tidak heran sekarang dia
mengajak Sofi mendirikan FLP di kabupaten ini.
Sofi dan Hamzah pernah berada di
kepengurusan yang sama dalam sebuah organisasi di kampus. Karena berbeda
fakultas, keduanya baru saling kenal dalam kepengurusan itu. Ternyata mereka
berasal dari kabupaten yang sama, kecamatan yang saling bertetangga. Pascakampus,
mereka juga sama-sama kembali ke kampung masing-masing. Hamzah mengajar di
sebuah sekolah dasar, Sofi bekerja sebagai wartawan lepas sebuah surat kabar.
Selagi menunggu, Hamzah tampaknya sibuk
dengan lembar-lembar ulangan siswanya.
"Assalamu’alaikum," sapa Sofi.
"Wa’alaikumussalam warahmatullah,"
Hamzah mendongak dari pekerjaannya. Kepalanya mengarah pada Khadijah, walaupun matanya
sedikit melirik ke bawah.
"Ini Mbak Khadijah," Sofi
memperkenalkan. "Dia sudah bersedia membantu kita berdakwah lewat pena."
Khadijah menyambut perkenalan Sofi
dengan menangkupkan tangan di depan dada, dibalas gerakan serupa oleh Hamzah.
Tak lama mereka sudah mulai terlibat
diskusi seru tentang gambaran aktivitas FLP yang akan mereka lakukan ke depan. Pertama-tama,
mengurus legalitas pendirian, lalu mengadakan semacam soft launching.
Sofi pulang dari café dengan semangat
membara. Di benaknya, sudah terbayang keseruan aktivitas yang akan mereka
jalankan: membagi rekrutmen mereka berdasarkan usia atau profesi (ibu-ibu PKK dengan
treatment berbeda dengan anak sekolah
menengah, misalnya), memanggil penulis nasional (Sofi bakal memanfaatkan
jaringannya dengan media massa), hingga menerbitkan buku bersama.
Akhirnya
hidupku tidak se-freelance itu, senyum Sofi. Jadi wartawan lepas
memang tidak setiap hari ada pekerjaan, yang berarti dia lebih banyak di rumah
saja. Karyanya akan dipublikasi menjadi karya sendiri (bukan sekadar mengisi
kolom di koran) dan menjadi inspirasi bagi para pembacanya.
Di mana-mana, ekspektasi memang selalu
lebih indah dari realita.
Belum banyak yang bisa Sofi kerjakan,
karena Hamzah berjanji akan menghubungi struktur FLP di atasnya untuk membantu
legalisasi pendirian. Setelah ada kejelasan, barulah Sofi bisa bergerak mengurus
berkas-berkasnya.
Sayangnya, setelah pertemuan itu, Hamzah
susah dihubungi. Ditelepon tidak diangkat, di-chat centang satu, bahkan di-SMS juga tidak membalas. Khadijah
menyarankan Sofi untuk mendatangi rumahnya saja, tapi dia tidak tahu di mana persisnya
rumah Hamzah.
* * *
Dua bulan kemudian, Sofi mendapat
panggilan kerja di sebuah media massa di Jakarta. Sofi sendiri sudah lupa pernah
melamar ke media massa tersebut, tetapi setelah membongkar emailnya, dia ingat
pernah mengirimkan lamaran itu hampir setahun lalu, setelah dia lulus kuliah. Tak
dinyana, lamaran itu baru terjawab sekarang.
Bosan dengan rutinitas di kampungnya, apalagi
harapan kesibukan dari FLP kabupaten yang tak kunjung ada kejelasan, Sofi
segera mengiyakan panggilan itu.
Dalam perjalanan pindahan, ada chat masuk ke HP Sofi. Nomor asing.
"Assalamu’alaikum, Mbak. Saya Hamzah.
Maaf, setelah diskusi kita waktu itu, HP saya hilang, dan belum punya dana
untuk langsung ganti HP. Jadi belum sempat hubungi njenengan lagi, soalnya saya tidak hafal nomor njenengan. Saya harus urus dulu ke provider supaya dapat nomor yang sama, jadi semua chat bisa di-restore."
Hamzah masih berstatus typing ketika Sofi buru-buru membalas.
"Wah, maaf, Pak, sekarang saya mau
hijrah ke Jakarta. Jadi saya nggak bisa meneruskan menginisiasi dakwah literasi
di sana."
Sesaat Hamzah tampak berhenti mengetik,
kemudian kembali typing.
"Oh, kebetulan, kalau begitu. Njenengan bisa bantu dari jarak jauh.
Malah banyak koneksi, kan?"
Ide itu tak terpikir oleh Sofi.
Tadinya, dia bertekad mengubur impiannya itu sama sekali. Saat berpamitan
dengan Khadijah pun, Khadijah hanya berseloroh, "Mungkin qadarullah akan ada orang lain yang bisa menuliskan kata-kataku,
kan?"
Perlahan, Sofi mengetikkan balasan
untuk Hamzah, "Insyaallah, hal pertama yang saya lakukan di Jakarta adalah menghubungi
FLP terdekat."
"Terima kasih masih mau membantu, lho,
Mbak. Ingat tujuan kita, membudayakan literasi bervisi keislaman di kabupaten
kita tercinta," respons Hamzah.
"Itu mimpi kita bersama. Walaupun
ragaku di ibu kota, hatiku tetap di desa."
Yang Sofi tidak tahu, ada senyum lebar dari
seseorang ketika membaca kalimat terakhirnya itu.
permisi.....
ReplyDeleteEh, yang punya nama dateng 🤣
Delete