Tanggapan atas Berita yang Beredar tentang Penggerebekan Warung yang Buka Siang Hari pada Bulan Ramadhan
Dalam 12 jam terakhir, timeline Facebook penuh dengan share berita tentang razia warung makan yang jualan di siang hari pada bulan Ramadhan. Saya sendiri belum klik berita itu, atau nonton videonya, tapi yang saya tangkap dari caption yang menyertai, satpol PP bertindak "bengis" terhadap ibu pemilik warung makan dengan memaksa menyita makanan yang dijual. Banyak di antara penduduk Facebook ini yang menyebut aksi ini sebagai tindakan tidak manusiawi. Tapi di sini saya tidak ingin menekankan masalah manusiawi atau tidaknya tindakan ini.
Saya lebih tertarik menyoroti komentar para "Facebooker" ini yang (kurang lebih) mempertanyakan kekuatan iman kaum muslimin sehingga pada siang hari selama bulan Ramadhan, warung harus tutup. Di antara komentar tersebut ada yang menunjukkan bahwa dengan "dalih agama", tindakan kekerasan itu dilakukan. Seolah-olah dia ingin menegaskan, bahwa penegakan hukum agama (Islam) dilakukan dengan cara kekerasan, atau dengan kata lain, kekerasan boleh dilakukan demi menegakkan hukum agama (Islam). Ada juga yang mengatakan bahwa aturan ini hanyalah bentuk dari keangkuhan iman seseorang sehingga tindakan bengis ini bisa dibenarkan.
Kasus tersebut bermula dari aturan warung-dilarang-buka-siang-hari, yang bertujuan memberikan toleransi kepada masyarakat mayoritas di negeri ini yang sedang menjalankan ibadah puasa, tetapi dianggap justru tidak toleran terhadap mereka yang tidak berpuasa.
Di seluruh penjuru bumi, aturan sosial yang berlaku di masyarakat adalah aturan yang mencakup kepentingan mayoritas, dalam arti sebagian besar orang merasa ter-cover kebutuhannya dalam aturan itu. Contoh paling simpel adalah masalah pemilu: siapa yang dapat suara paling banyak (mayoritas), dia yang berhak memimpin negeri. Apakah ini berarti tidak menghormati suara minoritas? Tidak. Tapi tentunya penghormatan itu bukan berarti jagoan kedua kubu jadi pemimpin. Minoritas diharapkan mengalah demi kepentingan yang lebih besar. Apa jadinya kalau kepentingan orang yang lebih banyak harus disingkirkan demi satu-dua orang?
Meskipun demikian, minoritas tetap berhak atas haknya, yaitu dihormati kepentingannya. Minoritas dipersilakan melakukan yang berkaitan dengan kepentingannya, dan mayoritas harus melindungi hak minoritas ini. Tapi tentu saja dengan syarat, kepentingan minoritas tidak mengganggu kepentingan masyarakat yang lebih luas. Sekali lagi, jangan sampai kepentingan satu-dua orang harus menelan korban berupa kepentingan orang yang lebih banyak.
Sama dengan aturan agar warung makan tutup di siang hari selama bulan Ramadhan. Indonesia negara yang mayoritas penduduknya muslim, yang punya kewajiban berpuasa dalam satu bulan tersebut (terlepas dari mereka yang enggan berpuasa). Bukan berarti umat Islam ini imannya lemah, bukan pula sedang unjuk keangkuhan agar dihormati, tapi ini sebagai bentuk sopan santun bagi mayoritas yang sedang berpuasa. Dalam budaya Indonesia yang saya kenal, kita akan sungkan kalau kita makan sendiri sementara orang di depan kita tidak makan, maka kemudian kita menawari makanan kita supaya bisa sama-sama makan. Aturan warung-dilarang-buka-siang-hari pun bertujuan seperti itu, menumbuhkan suasana penuh toleransi kepada mereka yang tidak makan dengan tidak secara terang-terangan "menawarkan" makanan kepada mereka.
Apa ini berarti orang-orang Islam lemah iman?
Saya beri analogi begini. Ketika saya berwisata ke Bali, tour guide saya menjelaskan bahwa pada hari Nyepi, suasana Bali harus benar-benar sepi. Kalau bertepatan dengan hari raya agama lain, pemeluk agama lain itu diharapkan tidak menimbulkan suara yang terdengar sampai ke luar rumah ibadahnya, dan untuk menuju rumah ibadah itu tidak boleh ada suara kendaraan. Bahkan bandara harus tutup, padahal pengunjung bandara tentunya punya berbagai keperluan sehingga harus datang ke atau pergi dari Bali pada hari itu. Apa ini berarti umat Hindu Bali begitu lemah imannya, sehingga bisa tergoda suara dari luar rumah? Apalagi sekarang ada headset supaya suara-suara dari luar tidak terdengar. Apakah ini bentuk intoleransi masyarakat Hindu yang mayoritas di Bali kepada pemeluk agama lain yang tidak memerlukan suasana sesenyap itu, dan butuh akses kendaraan yang mau tidak mau mengeluarkan suara?
Sama dengan aturan warung-dilarang-buka-siang-hari. Kalau ada yang menanyakan bagaimana dengan yang tidak puasa, saya tahu persis perasaan itu. Sebagai perempuan, saya juga mengalami sekitar seminggu tidak berpuasa selama Ramadhan: saya tahu bagaimana rasanya siang-siang kelaparan, belum sarapan, dan susah menemukan warung makan yang buka. Tapi saya tahu, ada hal lain yang lebih penting daripada perut saya sendiri, ada orang-orang yang harus dihormati hak dan kewajibannya. Ini bukan masalah lemah iman, ini masalah budaya sopan santun dan toleransi yang sudah menjadi nilai utama bangsa ini.
Lagipula, sejauh saya tahu, aturan ini pun tidak saklek. Warung makan masih boleh buka, asalkan menutup gorden, misalnya, atau dengan cara apapun yang tidak terang-terangan menjajakan makanannya kepada orang yang melewati. Jadi, menurut saya, ini sudah jalan tengah terbaik untuk menghormati kaum muslim yang berpuasa dan memberikan hak-hak mereka yang membutuhkan makanan di siang hari. Juga, kalau ada anggapan warung wajib tutup ini mengurangi rezeki si pemilik (walaupun menurut saya alasan ini sedikit konyol karena toh biasanya menjelang maghrib justru kita sampai harus antre panjang untuk sekadar beli gorengan atau es teh), solusi ini pun tidak menutup aliran nafkah buat mereka.
Mengenai kasus yang terjadi pada ibu penjaga warung makan tersebut, saya menyarankan untuk tidak melihat dari satu sudut pandang juga. Perlu ditelusuri lebih jauh, apakah aturan warung-dilarang-buka-siang-hari sudah berlaku di daerah tersebut. Kalau ya, dan si ibu tahu tapi nekat buka (apalagi kalau tidak menutup gorden), tindakan satpol PP tidak sepenuhnya salah, mereka hanya menegakkan aturan yang sudah disepakati, kecuali kalau memakai tindak kekerasan tanpa provokasi. Sebaliknya, kalau si ibu tidak tahu ada aturan itu, seharusnya ada pembinaan pada si ibu, kemudian diminta menutup gorden rumah makannya, baru kalau masih nekat membukanya, ya mau bagaimana lagi. Aturan ya aturan, jadi kalau memang sudah disepakati, ya harus ditaati.
Sebagai tambahan, mengingat netizen juga menggunakan argumen rakyat-kecil-saja-yang-kena-bagaimana-dengan-rumah-makan-besar dan mending-razia-tempat-maksiat-yang-lebih-besar sebagai bentuk pembelaan terhadap si ibu, saya juga berharap, aturan warung-dilarang-buka-siang-hari juga berlaku untuk rumah-rumah makan yang lebih besar, termasuk yang ada di pusat-pusat perbelanjaan. Seharusnya ada razia juga untuk rumah-rumah makan seperti ini, agar hukum tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebaliknya, jangan sampai hanya karena yang atas belum tersentuh, yang bawah dibiarkan bebas. Harus dua-duanya secara seiring. Dan tempat-tempat maksiat lainnya pun, saya sepakat penuh agar dirazia dan dibubarkan, kalau perlu tidak hanya saat Ramadhan. Tetapi saya juga berharap, mereka yang minta ini, jangan sampai nanti berargumen, "Pekerja itu juga butuh nafkah untuk keluarganya," dan sederet alasan sentimentil lainnya, supaya perilaku maksiat benar-benar bisa ditumpas.
terimakasih pencerahannya lil, mantap!
ReplyDelete