KMGP, Film yang Memperkaya Buku
Setiap orang memiliki pintu hidayahnya sendiri, bahkan meski melalui sesuatu yang buat orang lain itu tak berarti. Ada banyak cerita perubahan diri menjadi lebih baik usai membaca cerpen Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP), baik kepribadiannya maupun semangat menulis (karena dikatakan KMGP merupakan cikal lahirnya sastra Islam di Indonesia). Saya tak ingin meremehkan, mengingat perkenalan saya dengan lingkungan pergaulan Islam dimulai dari sebuah novel super-ringan.
Kalau tidak salah, buku yang saya temukan di rumah yang covernya ini |
Perhatian saya tertarik ketika mendengar kisah ini akan difilmkan, terutama karena Helvy Tiana Rosa (HTR) sebagai penulis begitu mempertahankan idealisme yang terdapat dalam cerpennya. Ini yang membuat saya penasaran: seperti apa skenario yang akan dihasilkan dari adaptasi buku ke dalam film dengan tetap membawa ruh cerita. Kita semua tahu, entah dengan pertimbangan durasi, klimaks, budget, bahkan komersil, cerita buku yang diangkat dalam film sudah biasa dikurangi maupun ditambah, dan parahnya tak jarang ini menghilangkan hal-hal penting yang sebetulnya justru menjadi inti atau nilai yang ingin disampaikan dalam cerita yang bersangkutan.
Dan saya tidak dikecewakan.
Membutuhkan waktu lama dalam prosesnya, termasuk mengumpulkan dana secara crowd funding dan mencari aktor yang tidak hanya bagus dalam film melainkan juga bisa menjadi teladan di dunia nyata, film ini memenuhi ekspektasi saya yang seringnya kelewat tinggi.
Pertama, biasanya produk sponsor dimasukkan dalam scene dengan kelewat mencolok. Di KMGP, sponsor Wardah lebih terlihat natural karena disisipkan dalam scene di balik layar sebelum Mas Gagah tampil sebagai model. Hehe... Oke, ini memang kurang penting.
Seperti biasa, jalan cerita memang banyak yang tidak sesuai dengan noveletnya. Ibu Gagah dan Gita diceritakan seorang single parent setelah sang Papa meninggal. Kedua alur dari dua cerpennya pun dilebur sehingga Gita bertemu Yudhi di tengah perselisihannya dengan Mas Gagah, sehingga Yudhi bukanlah sosok yang "menggantikan" kehadiran Mas Gagah. Termasuk tambahan tokoh orang tua Yudhi yang sama sekali tidak diceritakan di buku.
Tetapi uniknya, perubahan detail alur itu sama sekali tidak mendistorsi bayangan yang dipikirkan ketika membaca bukunya, justru malah memperdalam penghayatan terhadap cerita. Penonton jadi lebih menghayati rasa salah kostum dan salah tempat Gita waktu diajak ke pernikahan yang ternyata tempat laki-laki dan perempuan dipisah. Sementara dalam buku, perasaan Gita hanya tertulis dalam narasi, "Aku sempat bingung juga," terhadap pemisahan tempat ini, sedangkan kontrasnya pakaian Gita dengan pengunjung lainnya (yang di buku diceritakan waktu pengajian) hanya diungkapkan lewat kalimat, "Gita kayak orang bego di sana!" Tapi di film, ngambeknya Gita dapet banget!
Faktor lain yang patut diacungi jempol adalah penempatan aktor dan aktris yang begitu pas, sesuatu yang seringkali tak dimiliki film-film Islam lain yang pernah dibuat. Saya katakan penempatan, bukan sekadar pemilihan, karena beberapa film memilih pemain kawakan yang, walaupun aktingnya sudah tak diragukan, kadang kurang tepat dalam menempatkan dia sebagai tokoh tertentu. If you know what I mean. Juga tokoh-tokoh pendatang baru dengan akting yang begitu bagus, mengalir, dengan cara penyampaian hikmah yang tak terkesan kaku (seringnya kalau lagi "ceramah" dalam percakapan normal pun, si tokoh ini akan menyampaikannya dengan nada formal seperti dalam forum kajian, jadi kedengarannya agak aneh kalau di dunia nyata benar-benar menggunakan nada itu).
Dan yang terpenting, ruhnya tidak hilang. Pengubahan jalan cerita seringkali menghilangkan ruh ini. Tapi dalam KMGP, penonton tetap bisa merasakan ruh seseorang yang sedih ketika dijauhi orang-orang yang dicintainya karena dia ingin menjadi lebih baik, ruh untuk tetap menyampaikan dakwah di mana pun meski bukan di forum pengajian, ruh kepedulian terhadap Palestina dan dunia Islam lainnya, dan ruh kepedulian terhadap sesama.
Ada satu scene tambahan yang menurut saya memperkaya nilai cerita dengan membantah opini bahwa Islam intoleran. Saya kurang menangkap itu scene kerusuhan atau kebakaran yang murni kecelakaan. Dalam kejadian itu, salah seorang warga menyampaikan pada Yudhi yang suaminya masih di gereja, dan Yudhi pun dengan sigap menjemputnya. Di tengah kondisi saat ini yang menuduh umat Islam egois dan tidak toleran lantaran tidak membenarkan akidah agama lain (di antaranya tidak mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain), adegan tadi menunjukkan bahwa untuk masalah hablum minannaas, masalah sosial, terlebih soal keselamatan nyawa, Islam tidak pandang bulu terhadap semua orang. Islam mengajarkan untuk tetap menolong sesama apa pun agamanya.
Idealisme untuk mempertahankan nilai sehingga menolak berbagai production house yang menawarkan untuk memfilmkan ini pada akhirnya membuahkan hasil luar biasa. KMGP menjadi film Islam terbaik yang pernah saya saksikan tanpa mengurangi keindahan sinematografi. Dari skala 1 sampai 10, saya beri nilai 9 untuk film ini.
Hanya 9?
Ya. Sayangnya, ada dua hal yang cukup mengganjal buat saya. Satu, jenggot Mas Gagah. Hehe... Terlalu kentara kalau itu tempelan. Dua, mungkin karena saya yang kurang update atau bagaimana, agak kaget juga waktu film diakhiri dengan cuplikan film KMGP 2. Sebelumnya saya kira KMGP dibuat utuh sampai selesai, ternyata bersambung, yang mungkin menjelaskan kenapa sepanjang duduk di bioskop saya belum melihat scene Ternate. Apakah akan ada di film keduanya?
Dan apakah hadirnya film kedua nanti, bisa menaikkan nilai yang saya berikan untuk KMGP jadi 10? Kita lihat saja nanti. :)
Faktor lain yang patut diacungi jempol adalah penempatan aktor dan aktris yang begitu pas, sesuatu yang seringkali tak dimiliki film-film Islam lain yang pernah dibuat. Saya katakan penempatan, bukan sekadar pemilihan, karena beberapa film memilih pemain kawakan yang, walaupun aktingnya sudah tak diragukan, kadang kurang tepat dalam menempatkan dia sebagai tokoh tertentu. If you know what I mean. Juga tokoh-tokoh pendatang baru dengan akting yang begitu bagus, mengalir, dengan cara penyampaian hikmah yang tak terkesan kaku (seringnya kalau lagi "ceramah" dalam percakapan normal pun, si tokoh ini akan menyampaikannya dengan nada formal seperti dalam forum kajian, jadi kedengarannya agak aneh kalau di dunia nyata benar-benar menggunakan nada itu).
Dan yang terpenting, ruhnya tidak hilang. Pengubahan jalan cerita seringkali menghilangkan ruh ini. Tapi dalam KMGP, penonton tetap bisa merasakan ruh seseorang yang sedih ketika dijauhi orang-orang yang dicintainya karena dia ingin menjadi lebih baik, ruh untuk tetap menyampaikan dakwah di mana pun meski bukan di forum pengajian, ruh kepedulian terhadap Palestina dan dunia Islam lainnya, dan ruh kepedulian terhadap sesama.
Ada satu scene tambahan yang menurut saya memperkaya nilai cerita dengan membantah opini bahwa Islam intoleran. Saya kurang menangkap itu scene kerusuhan atau kebakaran yang murni kecelakaan. Dalam kejadian itu, salah seorang warga menyampaikan pada Yudhi yang suaminya masih di gereja, dan Yudhi pun dengan sigap menjemputnya. Di tengah kondisi saat ini yang menuduh umat Islam egois dan tidak toleran lantaran tidak membenarkan akidah agama lain (di antaranya tidak mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain), adegan tadi menunjukkan bahwa untuk masalah hablum minannaas, masalah sosial, terlebih soal keselamatan nyawa, Islam tidak pandang bulu terhadap semua orang. Islam mengajarkan untuk tetap menolong sesama apa pun agamanya.
Idealisme untuk mempertahankan nilai sehingga menolak berbagai production house yang menawarkan untuk memfilmkan ini pada akhirnya membuahkan hasil luar biasa. KMGP menjadi film Islam terbaik yang pernah saya saksikan tanpa mengurangi keindahan sinematografi. Dari skala 1 sampai 10, saya beri nilai 9 untuk film ini.
Hanya 9?
Ya. Sayangnya, ada dua hal yang cukup mengganjal buat saya. Satu, jenggot Mas Gagah. Hehe... Terlalu kentara kalau itu tempelan. Dua, mungkin karena saya yang kurang update atau bagaimana, agak kaget juga waktu film diakhiri dengan cuplikan film KMGP 2. Sebelumnya saya kira KMGP dibuat utuh sampai selesai, ternyata bersambung, yang mungkin menjelaskan kenapa sepanjang duduk di bioskop saya belum melihat scene Ternate. Apakah akan ada di film keduanya?
Dan apakah hadirnya film kedua nanti, bisa menaikkan nilai yang saya berikan untuk KMGP jadi 10? Kita lihat saja nanti. :)
No comments