Testimoni Penjurian Olimpiade Ramadhan KAMMI Semarang (Part 1): Video Profil
Menjadi juri bagi lomba yang salah satu pesertanya adalah "keluarga" sendiri bukan perkara mudah. Ada subjektivitas yang meski saya coba sampingkan, akan menjadi sasaran tembak pihak-pihak tertentu seandainya hasil akhir memutuskan keluarga saya itu yang menang. Maka saya coba membuat rumus penilaian yang saya buat teramat rumit bahkan untuk saya pahami sendiri. Teknisnya, rumus itu memang baru saya fiksasikan setelah melihat karya-karya yang masuk, tetapi konsep rumusan itu sendiri sudah ada jauh sebelum satu pun karya diterima panitia.
Aspek utama yang selalu menjadi bahan penilaian saya pribadi dalam menyeleksi sebuah karya adalah orisinalitas. Saking pentingnya hal tersebut, penilaian orisinalitas pada awalnya saya buat bukan dalam poin, melainkan persentase: berapa persen isi karya yang merupakan karya sendiri, dikalikan jumlah nilai dari kriteria-kriteria yang ditentukan panitia. Ini berarti, jika keseluruhan karya orisinal (yang didefinisikan sebagai buatan sendiri, atau, jika mengambil karya orang lain, mencantumkan pemilik hak cipta), maka karya memperoleh 100% dari jumlah skor semula. Tetapi jika di dalamnya ada bahan yang bukan karya sendiri tanpa identitas pemegang hak cipta, karya hanya berhak mendapatkan sekian persen skor semula. Pada titik ekstrem, seandainya sebuah karya mendapatkan nilai penuh berdasarkan kriteria panitia, namun keseluruhannya diambil dari luar tanpa kredit, skor akhir adalah 0.
Karena dalam hal ini yang dilombakan adalah video profil organisasi, pertimbangan ini saya diskusikan dengan mahasiswa desain komunikasi visual, yang secara tegas mengatakan bahan apa pun yang dari luar harus minta izin dulu ke pemilik (note: saya coba tanyakan hukumnya kalau tanpa izin dan hanya mencantumkan sumber, tapi dia berulang kali lebih menekankan pengetahuan pemilik sumber atau buat sendiri daripada sekadar memakai dengan kredit). Mengenai komponen audio, dia bilang sama seperti di atas, apalagi kalau tujuannya di-upload, video tersebut bisa dihapus dengan pasal pelanggaran hak cipta. (FYI, saya pribadi pernah mengalami dihapusnya video profil lembaga yang saya upload ke Youtube, walaupun terakhir kali saya cek, pemblokiran video saya hanya berlaku di beberapa negara.)
Jika konsisten dengan rumus utama di atas, separo video yang masuk mencapai titik ekstrem, alias mendapat nilai 0. Kebiasaan umum pembuat video amatir adalah menyertakan latar suara berupa lagu/instrumen yang tidak dibuat khusus untuk tujuan video ini, termasuk para peserta lomba video profil ini. Hingga saya selesai menonton video-video tersebut, tidak ada setitik pun informasi tentang setidaknya judul lagu/instrumen yang dipakai dan dimainkan oleh siapa, baik itu kredit di akhir video, tulisan di awal video, atau minimal 1 cm watermark dengan transparansi 99% di salah satu sudut ketika suara itu diputar. Ada juga yang menggunakan opening khas studio produksi film terkemuka dunia, yang secara umum sebenarnya bisa diterjemahkan video tersebut buatan studio film itu. Kenyataannya, tak perlu lah saya sampai menerjunkan detektif untuk tahu bahwa studio itu ikut andil sedetik pun dalam proses pembuatannya.
Cukup tegaskah saya untuk memberi nilai apa adanya?
Ternyata tidak. Saya terlalu lemah untuk membiarkan pelanggaran hak cipta semacam itu merajalela khususnya di kalangan kader KAMMI. Untuk video, saya memang ambil tindakan tegas, apalagi karena selain video yang saya ceritakan di atas, semuanya pakai bahan sendiri meski itu cuma kilasan foto-foto. Untuk audio, karena lebih dari 85% peserta sama-sama mengambil latar suara yang bukan haknya, dan beberapa masih menambahkan suara kreasi sendiri, saya mengotak-atik kembali rumus awal saya. Kalau tidak, mungkin hanya satu video yang lolos dari sensor hak cipta ini.
Bisa saja saya kemudian asal memberi nilai dengan hanya berbasis range, tapi saya menilik kembali tujuan awal saya menggunakan persentase: saya harus punya standar penilaian yang berbasis kuantitas sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan terhindar dari tuduhan subjektivitas. Terlebih ini berkaitan dengan pengurangan nilai, bukan sekadar estetika, yang beberapa juri kompetisi serupa pun memiliki standar ketertarikan berbeda untuk poin ini.
Akhirnya saya menemukan formula yang saya harap memuaskan semua pihak (dengan pelanggaran masing-masing, harusnya menerima seluruh konsekuensinya). Saya bagi dalam dua komponen, yaitu [1] visual yang meliputi gambar, foto, dan video bisu (suaranya dimatikan), dan [2] dan audio yang terdiri dari musik latar, narasi, dialog video, dan sound effect (karena audio lebih mungkin bertumpuk dibandingkan citra, secara keseluruhan persentase bisa mencapai angka lebih dari 100%). Untuk karya asli pada masing-masing komponen, tiap detiknya bernilai 100%. Untuk karya melanggar hak cipta, tiap detiknya bernilai maksimal 80% untuk citra dan 75% untuk audio. Persentase ini dihitung pada tiap komponen, karya asli dikurangi karya pelanggaran hak cipta. Persentase akhir diambil dari menjumlahkan persentase kedua komponen tersebut. Ini berarti, persentase maksimal mencapai 200%, dan minimal -155%.
Karena awalnya panitia menyampaikan hanya 3 komponen penjurian (desain grafis, animasi, dan konten), rencana awal saya masih sama untuk mengalikan persentase orisinalitas dengan 3 komponen dari panitia. Tapi usulan saya untuk memasukkan komponen audio dan orisinalitas disetujui, dan ini baru dikonfirmasi H-1 pengumuman melalui form penjurian yang mematok range nilai 0-100 untuk masing-masing komponen, persentase itu saya jadikan poin yang bernilai maksimal 100 (misal awalnya bernilai 75%, berarti saya hilangkan persennya kemudian saya bagi 2, jadi hanya 37,5 poin).
Penilaian orisinalitas |
Permasalahan umum kedua yang saya temukan adalah betapa narsisnya para aktivis ini kalau dipikir-pikir. Sepemahaman saya, tujuan pembuatan company profile video adalah untuk menjelaskan gambaran umum tentang organisasi itu: latar utama eksistensi organisasi, visi dan misi (walaupun bisa dijabarkan melalui narasi dan penjelasan, tidak harus poin), dan keunggulan program kerja dan prestasi, yang seluruhnya digunakan untuk mengajak penonton untuk bergabung/bekerja sama dalam rangka menyelesaikan permasalahan yang menjadi landasan berdirinya organisasi. Bisa juga diberikan alamat/nomor kontak untuk kerja sama lebih lanjut.
Penilaian konten |
Separo durasi sisanya lebih banyak digunakan untuk memberikan dokumentasi program. Dan permasalahan ketiga, agenda-agenda internal ditampilkan sebanding dengan agenda eksternal. Padahal agenda internal hanya bermanfaat untuk pengurus sendiri, misal pra-raker, upgrading, buka bersama pengurus... Tentunya akan lebih menarik minat jika video menekankan pada program-program yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat. Dalam konteks KAMMI, hal-hal menarik yang saya temukan dalam video-video ini adalah aksi jalanan, aksi sosial, desa binaan, diskusi, DM-1, bimbingan ujian untuk umum, dan peran dalam pemira kampus.
Ada juga yang bagus dengan menyertakan testimoni, walaupun sebagai penonton, saya mendapat kesan pembuat lebih menonjolkan posisinya di KAMMI daripada kiprahnya di kampus/masyarakat. Sebagai kader inti KAMMI, tentu saja dia mengunggul-ungulkan KAMMI. Beda, misalnya, kalau presiden mahasiswa yang pernah ikut KAMMI menceritakan peran KAMMI dalam pembentukan karakter dirinya sehingga bisa menjadi presma yang amanah dan profesional. Atau bisa juga testimoni tokoh yang sama sekali belum pernah ikut DM-1, mungkin lebih meyakinkan penonton akan peran KAMMI di kalangan umum.
Penilaian durasi |
Saya memang meminta untuk memasukkan audio dalam komponen penilaian, tapi bukan berarti saya menganggap audio memiliki bobot sama dengan konten visual. Salah satu situs yang saya kunjungi menyebutkan, salah satu ciri video profil yang baik adalah yang pesannya bisa tersampaikan tanpa tergantung suara; artinya kalau suara dimatikan, penonton diharapkan dapat menangkap informasi yang ingin disampaikan. Narasi hanya sebagai pendukung penyajian konten untuk mempercepat proses sampainya informasi, dan musik latar hanya untuk menghidupkan suasana. Dan yang tak kalah penting, seberapa clear suaranya (jangan sampai ada banyak suara angin dalam rekaman).
Pada akhirnya, saya menentukan faktor-faktor dan bobot masing-masing untuk keenam komponen penilaian; separonya saya nilai dengan formula perbandingan terhadap durasi total. (Ngomong-ngomong, komponen durasi ternyata juga tercantum dalam form penilaian, yang akhirnya saya ambil dari total perbandingan durasi masing-masing media dengan durasi total, karena bisa jadi video berdurasi 3 menit lebih tersampaikan informasinya daripada video 20 menit tapi bertele-tele.)
Dan setelah melalui berbagai pertimbangan di atas, saya ucapkan barakallah untuk KAMMI Universitas PGRI Semarang sebagai juara bidang lomba ini.
* * *
Link video profil yang dilombakan sesuai urutan peringkat akhir (semoga belum diblokir Youtube karena hak cipta ya):
1. UPGRIS (poin: 475,03)
https://www.youtube.com/watch?v=6nx0xd1DmAs
2. FPIK Undip (poin: 470,56)
https://www.youtube.com/watch?v=dh1meR2ACNo
3. FT Undip (poin: 447,73)
https://www.youtube.com/watch?v=AumY3MNwXlU
4. Polines (poin: 438,44)
https://www.youtube.com/watch?v=w31g5XXl2DA
5. Soshum Unnes (poin: 305,46)
https://www.youtube.com/watch?v=_x8V_h9HsRM
6. FISIP Undip (poin: 276,10)
https://www.youtube.com/watch?v=07iWgKU96Rw
7. Kudus (poin: 245,50)
https://www.youtube.com/watch?v=w31g5XXl2DA
No comments