Ash Shaff
Ash Shaff.
Entah sejak kapan aku mulai menyukai surah yang satu ini. Mungkin karena beberapa orang saat tasmi' sering membacakan surah ini, baik versi lengkap maupun beberapa ayat saja, aku menjadi tertarik dengan ayat ini. Bahkan dalam satu kesempatan rapat KP sore itu, aku yang datang terlambat ini mengira Taufik sedang muroja'ah saja sambil menunggu anggota lain datang. Ternyata dia bahkan sedang membuka rapat sore itu dengan tasmi' Ash Shaff. Subhanallah.
Dulunya, aku lebih menyukai Ar Rahmaan, bukan sekadar karena nama surah itu memiliki arti "kasih sayang" (surah favorit orang-orang yang "jatuh cinta" hingga sering menjadi mahar pernikahan), melainkan karena kandungan surah itu yang membuatku merasa kerdil dibandingkan kekuasaan Allah, yang berulang bertanya retoris kepada kita tentang syukur. Aku juga jatuh hati pada surah Al Hujuraat ayat 10-13, yang menyadarkanku betapa erat ikatan karena aqidah, dan adab memperlakukan saudaranya. Bahkan aku tak bisa menjauh saat Ovi sering memutar bacaan An Nuur ayat 31 melalui HP-nya, lantaran dahsyatnya keagungan cahaya Allah yang Dia sendiri jabarkan dalam ayat tersebut. Cahaya di atas cahaya.
Ah, bukankah memang, Al Qur'an itu seluruhnya adalah cinta? Surat cinta terindah yang pernah diterima oleh manusia. Bukan sekadar surat cinta dua manusia yang belum halal, yang mengaku setia sehidup semati, tapi nyatanya, ketika salah satu mati, yang lainnya enggan untuk menyusulnya ke alam baka. Surat cinta Allah menjanjikan kita bertemu dengan-Nya, kapan saja kita mau. Jauh lebih indah dari surat cinta sepasang insan yang saling mengaku cinta pertama dan/atau terakhirnya, sebab Penulis surat cinta yang satu ini adalah Al Awaal dan Al Aakhir. Sang Maha Awal dan Sang Maha Akhir.
Kembali ke surah Ash Shaff. Pertama kali mengenal surah ini waktu SMA, saat numpang ikut trainingnya Rohis SMA 2 Semarang, di mana peserta wajib menghafal ayat 4 surah itu. Walaupun saat itu aku belum memahami maknanya, aku kembali diminta menghafal surah itu, ayat 1-4, saat Dauroh Marhalah (DM) 1 KAMMI Teknik. Barulah aku menyadari seruan yang terdapat bahkan hanya dalam 4 ayat tersebut.
Aku tertarik sekali dengan ayat 2 dan 3:
2 - يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لاَ تَفْعَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?"
Mengapa yang disebut ayat ini adalah orang-orang yang beriman? Mengapa bukan hanya orang munafik yang berbeda antara lisan dan perilaku? Berarti ada indikasi, bahwa orang yang beriman pun bisa saja mengatakan kebaikan di lisan, tetapi dia sendiri tidak melakukan apa yang dia sendiri serukan pada orang lain. Bahkan ancaman bagi orang yang melanggar ayat ini, dijelaskan dalam ayat berikutnya.
3 - كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لاَ تَفْعَلُونَ
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan."
Aku mungkin bukan ahli tafsir, tapi siapa sih yang gak merinding kalau dikatakan bahwa murka Allah amat besar? Bahkan sama sekali tidak dijelaskan azab yang bisa menimpa orang mukmin tersebut. Bagi orang kafir atau munafik, jelas lah hukumannya. Tapi bagi orang mukmin?
Dua ayat yang membuatku amat takut dengan perbedaan lisan dan perbuatan. Tapi bukankah ayat tersebut justru yang memacu kita untuk senantiasa menyelaraskan lisan dengan perbuatan? Bukan berarti bahwa lisan kita menahan apa yang tidak kita kerjakan, atau bahwa lisan kita mengajarkan keburukan-keburukan yang kita lakukan, tapi seharusnya perbuatan kita disesuaikan dengan nasihat-nasihat yang terlontar dari lisan kita.
4 - إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُم بُنيَانٌ مَّرْصُوصٌ
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh."
Keteraturan seperti apa yang dimaksud dalam ayat ini? Aku hanya bisa mereka-reka. Adalah bagaimana lembaga dakwah kita, apa pun itu, menjadi wajihah yang profesional, yang semuanya terkonsep rapi, bukan suatu dakwah yang asal jalan. Hmm... mungkin aku belum sehebat para kader di atas sana, aku hanya bisa teratur dari hal yang kecil. Misalnya tentang... data. Walaupun bisa dibilang aku bukan orang yang rapi, tapi aku suka greget kalau kader lebih suka menjalankan hal lain dengan mengabaikan keteraturan administrasi. Karena, bukankah hal yang besar bisa dimulai dari hal kecil? Dalam permainan pun, kelingking yang melambangkan semut saja bisa mengalahkan ibu jari alias jempol yang merepresentasikan gajah. Itu berarti, yang kecil pun bisa "membunuh" yang besar, bukan?
Lebih dari itu, keteraturan bisa bermakna tentang keteraturan kita mengelola ruhiyah. Bagaimana kita bisa teratur menjaga ruhiyah kita, sehingga kekuatan ruhiyah itu menghasilkan ikatan hati kepada saudaranya. Ketika saudara kita terjatuh, kita sadar untuk membantunya bangkit. Ketika saudara kita tergerogoti ruhiyahnya, kita tahu bagaimana menambalnya kembali hingga bangunan kita sempurna. Dan strategi devide et impera dari para musuh Islam gagal total ketika harus berhadapan dengan kita.
Ayat-ayat setelah itu kuhafal pada sesi training-training berikutnya. Dah subhanallah, surah ini menjadi surah paling mudah aku hafalkan seumur-umur aku berusaha mengikatkan diri pada kalam suci ini. Hingga saat miskomunikasi mengenai tugas hafalan untuk DM2, aku memilih menyetorkan bacaan surah ini yang masih bersedia singgah di kepalaku, sedangkan surah lain aku masih terbata-bata saat muroja'ah.
14 - يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونوا أَنصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ فَآَمَنَت طَّائِفَةٌ مِّن بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَت طَّآئِفَةٌ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا عَلَى عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana 'Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?' Pengikut-pengikut yang setia itu berkata, 'Kamilah penolong-penolong agama Allah,' lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang."
Saat membaca ayat terakhir ini, aku ingat syuro departemen pertamaku di kampus. Pada kesempatan itu, sewaktu ditanya alasan mengikuti Rohis Al Muharrik, Imad menjawabnya dengan surah ini. Setelah diulang-ulang sendiri, aku merasakan getaran pada makna ayat itu. Di saat orang lain ingkar terhadap kenabian 'Isa, pada saat orang lain malah menjadikannya sebagai sesembahan, hawariyyin adalah orang-orang yang setia menjadi penggerak dakwah Nabi 'Isa.
Jika berkaca pada kondisi saat ini, mungkin banyak orang yang masih terlibat dalam dakwah. Tapi, akankah kita menjadi salah satunya? Bahkan setelah semua orang lari dari dakwah, ketika semua orang sudah futur dengan gayanya masing-masing, masihkah kita senantiasa menegakkan kebenaran? Tidak inginkah kita menjadi bagian dari golongan orang yang Allah janjikan kemenangan?
Dakwah mungkin tidak membutuhkan dirimu dengan segala kelemahanmu, tapi alangkah ruginya jika kita menjauhkan diri dari kepastian janji Allah.
Tembalang, 29 September 2012 pada waktu maghrib
***
Satu hal yg kemarin belum sempat tak tulis karena waktu udah maghrib, dan aku harus meninggalkan warnet. Jadi tak tambahin di sini.
Masih ada yang mengganjal bagiku di sini, yaitu tentang terjemahan ayat terakhir surah ini. Menurut terjemahan versi depag, ayat ini:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ
diterjemahkan dengan, "... 'Isa putera Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?'"
Kenapa kata "untuk" harus diletakkan di dalam kurung? Sementara kita tahu, sesuai aturan normal, bahwa kata dalam kurung itu bisa dihilangkan saja dalam sebuah kalimat. Coba baca sendiri, kalau kalimat yang ada di dalam kurung itu dihilangkan... artinya fatal sekali, bukan?
Padahal ayat itu berbunyi مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ .
Ada kata إِلَى di antara itu, yang bisa diterjemahkan sebagai: untuk, kepada, ke, dan yang sejenisnya. Secara tekstual pun, harusnya terjemahan tanpa keterangan dalam kurung berbunyi, "... berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia, 'Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku kepada Allah?'"
Jadi, terjemahan terakhir ini kan bisa bermakna, bahwa 'Isa menyeru kepada kaumnya untuk menolongnya dalam rangka ketaatan kepada Allah, kan?
Seharusnya ada revisi untuk terjemahan ini. sayangnya belum ada, bahkan di internet2 pun terjemahannya masih sama seperti versi depag. Maka, penting bagi kita untuk memahami bahasa arab, setidaknya dasar-dasarnya saja, karena terjemahan bahasa lain belum sepenuhnya bisa menggambarkan maksud dari suatu kalimat dalam satu bahasa.
Wallahu a'lam.
No comments