Why an Activist Muslim Should Master This
Bahasa Arab adalah surga. Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur'an. Dengan bahasa Arab, Rasulullah mengajarkan kepada dunia tentang indahnya kehidupan melalui Islam. Mungkin (menurut perkiraan saya yang masih belum faham apa-apa tentang bahasa Arab, namun ingin sekali menguasainya), itulah sebabnya seorang muslim harus belajar bahasa Arab selain bahasa ibunya.
Tapi ada bahasa lain yang tak kalah pentingnya untuk dikuasai seorang MUSLIM AKTIVIS, that's English. Maybe there are a thousand reasons why an activist muslim should master English, alasan yang sama mengapa pesantren modern menekankan santrinya untuk menguasai bahasa ini sesudah bahasa Arab.
"Berdakwahlah dengan bahasa kaumnya."
Saya tak tahu apakah itu hadits atau bukan, kalaupun itu hadits, shahih atau tidak. Tapi (sekali lagi dengan keterbatasan ilmu yang saya miliki), saya mencoba menganalogikan dengan khutbah jum'at yang disampaikan dengan bahasa masyarakat sekitar, bukan bahasa Arab, misalnya. Untuk khutbah jum'at yang begitu sakral saja harus menggunakan bahasa sesuai yang dipahami jama'ah, apalagi berdakwah secara "lepas", tentunya segala macam bahasa yang kita gunakan harus disesuaikan dengan objek dakwah, selama tidak melanggar syari'at, tentunya. Misal ketika kita bicara pada orang sepuh di desa di Jawa, tentu kita menggunakan bahasa Jawa kromo inggil, kalo kita berdakwah pakai bahasa Indonesia belum tentu juga mereka memahami.
Saat ini, dengan adanya globalisasi dan sebagainya, bahasa Inggris menjadi bahasa yang tak terpisahkan dalam hidup kita. Kalau dulu secara formal saya baru diajari bahasa Inggris di kelas 3 SD, saat ini anak TK pun mungkin sudah mulai dikenalkan bahasa sederhana bahasa Inggris. Di sekitar kita, dari merk barang sampai iklan, banyak sekali digunakan bahasa Inggris sebagai campuran bahasa Indonesia. Kalau memperhatikan gaya SMS alay, kita juga akan menemukan orang-orang menggunakan huruf "U" sebagai ganti kata "kamu". Ini membuktikan bahwa bahasa Inggris sudah begitu lekat dalam kehidupan kita.
Meski bahasa Inggris sudah diajarkan SD dan menjadi salah satu mata pelajaran untuk Ujian Nasional (UN), ternyata banyak juga yang masih ragu untuk menggunakan bahasa Inggris. Contoh kecil saja, kalau disuruh presentasi di depan teman-teman sekelas nervous itu masih terasa. Kita mungkin lebih memilih ujian tertulis bahasa Inggris daripada harus oral test. The common reason is, we are affraid if we are mistaken in using grammar or word. Kalau tidak percaya, coba saja sekali-sekali syuro pakai bahasa Inggris. Berapa orang yang akan menolak dengan alasan, "Saya kurang menguasai."
Maka, solusi yang sering diberikan untuk mengatasi hambatan ini adalah be confident. Just be confident when you have a conversation, jangan terpaku pada grammar saat sedang bicara. As long as they understand what you say, it's OK.
My father ever told me, when an Australian visited his school where he teaches, the Australian enter a class. He asked the students to say anything in front of the class. When my father saw his students' score given by the Australian, he wondered, "Nilai yang diberikan 9 semua, apakah memang grammar mereka nyaris sempurna?"
Terhadap itu, si bule Australia berkomentar, "Saya tidak menilai mereka berdasarkan grammar atau structure yang mereka kuasai, melainkan atas keberanian mereka maju dan berbicara di depan teman-teman mereka. Orang Indonesia menghargai bahasa Inggris lebih daripada kami menghargainya."
Jadi, saat ini harus ditanamkan sebuah "kepedean" muslim aktivis untuk menguasai bahasa Inggris. But unfortunately, saking pedenya, di pamflet atau pengumuman mana pun, mereka pede aja menggunakan bahasa Inggris meski salah grammar.
Yah, memang sih dalam bahasa percakapan, selama lawan bicara memahami maksud kita, grammar pun tabrak saja tidak masalah. Tapi kalau dalam bahasa tertulis, seharusnya kita tetap memperhatikan struktur bahasa yang kita pakai. Salah grammar saja arti sudah beda.
Contoh:
You like monkey = Kau suka monyet
You are like monkey = Kau seperti monyet
Dalam percakapan lisan, mungkin orang tidak akan memperhatikan terlalu mendalam strukturnya. Tapi kalau di pamflet yang bakal dilihat banyak orang dalam waktu yang mungkin cukup lama, bisa-bisa orang menertawakan kita sebagai seorang MUSLIM AKTIVIS. Kita akan dicap orang yang sok bisa menggunakan bahasa tapi sebenarnya tidak mengerti. Lebih parah lagi, nama "muslim" akan terkesan sebagai orang yang kuno, tidak berpikir global, atau semacamnya.
Bahasa Indonesia memang bahasa yang fleksibel, kita sering menemukan pamflet atau surat resmi yang sebenarnya tidak sesuai dengan kaidah bahasa. Mungkin kita sudah terbiasa dengan itu, jadi tidak ada yang mempermasalahkannya (selain mungkin guru/dosen Bahasa Indonesia). Tapi bahasa Inggris termasuk bahasa yang kaku dalam penggunaan strukturnya.
Singkatnya, just say it in English tanpa harus terpaku pada grammar dalam percakapan lisan, tapi tetap teliti dalam grammar saat menuliskannya dalam pamflet, memberi nama acara/forum, memberi jargon, dan hal-hal yang bersifat "formal" lainnya.
Sebelum saya akhiri tulisan ini, saya ingin memperjelas maksud saya dari judul ini: "Why an ACTIVIST MUSLIM Should Master This" dan bukan "Why a MUSLIM ACTIVIST Should Master This". Poinnya, identitas awal kita adalah sebagai Muslim yang aktivis, yang aktif dalam menyampaikan kebenaran. Aktivis muslim banyak, tapi belum tentu aktivitasnya adalah menyampaikan kebenaran Islam. Sedangkan Muslim saja yang bukan aktivis, apa yang mau dia sampaikan?
Kalau perlu, bukan hanya bahasa Inggris. Bahasa lain seperti Jepang, Prancis, atau Korea pun bisa kita pelajari sebagai sarana dakwah.
No comments